5/21/2009

MENENTANG “NEO-LIBERALISME”, KIRI DAN KANAN

MENENTANG “NEO-LIBERALISME”, KIRI DAN KANAN

Goenawan Mohammad: Zaman neo-liberalisme tampaknya sudah lewat. Kekuatan pasar tak dianggap lagi teramat sakti dan serba benar. Di Prancis, di sebuah rapat umum di kota Toulon menjelang akhir 2008, Presiden Sarkozy mengatakan: “Pikiran bahwa pasar adalah serba-kuasa dan tak dapat ditentang oleh aturan apapun dan oleh intervensi politik macam apapun adalah pikiran yang gila”.

Di Australia, Kevin Rudd, Perdana Menteri yang berasal dari Partai Buruh, menulis sebuah esei dalam The Monthly awal tahun ini: baginya, krisis yang sekarang menghantam dunia adalah titik puncak “neo-liberalisme” yang mendominasi kebijakan ekonomi dunia sejak 1978. Kini Rudd menggantikannya dengan yang berbeda. Ia menyebut agenda baru yang mendasari kebijakan ekonomi yang akan ditempuh Partai Buruh di Australia sebagai “kapitalisme sosial-demokratik”.

Rudd menjanjikan peran Negara yang aktif, walaupun tetap bertaut dengan “pasar yang terbuka”.

Dunia seperti menggaungkan kembali kerisauan tahun 1920-an. Di tahun 1926 John Maynard Keynes menulis The End of Laissez-faire dan menunjukkan betapa produktifnya sebuah kapitalisme yang dikelola, bukan yang dibiarkan berjalan seenak nafsu para kapitalis sendiri. Tak lama sejak itu, Amerika dan Eropa mencoba menggabungkan dinamisme modal dan kecerdasan teknokrasi Negara – sebuah jalan tengah yang terkenal sebagai “kompromi Keynesian”.

Adakah kini sebuah “kompromi Keynesian” baru sedang tersusun? “We are all Keynesians now”, tulis ekonom terkemuka Joseph E. Stitglitz, melihat sekarang – dari Amerika Serikat sampai dengan Indonesia – memperlihatkan peran Negara yang lebih besar dengan “paket stimulus” yang dikucurkan dari dana-dana publik buat merangsang pertumbuhan ekonomi yang merosot.

Tapi di Indonesia kita masih mendengar suara seperti Amien Rais dan Prabowo Subianto yang mengecam “neo-liberalisme”. Retorika “populis” atau “kerakyatan” memang perlu buat selalu mengingatkan masih besarnya ketimpangan sosial-ekonomi di Indonesia. Tapi “populisme” bisa datang dari sayap kanan, seperti suara gerakan Nazi Hitler.

Gerakan yang kemudian dipimpin Hitler ini berasal dari sebuah partai buruh, dengan dasar “Nationalsozialist”. Teoritikusnya yang awal, Drexler, menekankan perlunya sebuah sintesa antara semangat nasionalis kebangsaan (“völkisch”), sebuah pemerintahan pusat yang kuat, yang akan menciptakan “ekonomi sosialis”. Dan tidak boleh dilupakan: semangat anti-asing (asing berarti “anti-yang-lain”, yang “bukan-kita”).

Pengaruh semangat ini sampai ke mana-mana, juga ke Indonesia. Wilson, aktivis PRD yang juga penulis sejarah, pernah menguraikan bagaimana pengaruh Naziisme dalam Parindra (Partai Indonesia Raya).

Pengecam “neo-liberalisme” dari sayap kiri punya dasar yang lebih universal, sebab di dalamnya tidak ada unsur anti-asing. Bahkan Marxisme mengimbau internasionalisme.

Tapi masalah yang belum dipecahkan para pengritik “neo-liberalisme” adalah bagaimana mengimbangi peran pasar dengan peran Negara – seperti yang dicoba oleh “resep Keynesian”.

Jalan Keynesian bertolak dari keyakinan bahwa kekuatan yang bukan-pasar (Negara dan birokrasinya) harus – dan bisa — memiliki ketahanan untuk mengembangkan nilai yang berbeda dari nilai yang berlaku di pasar. Adapun nilai yang berlaku di pasar adalah nilai yang mendorong maksimalisasi kepentingan privat, bukan kepentingan publik. Tapi bagaimana hal itu akan terjadi di sini?

Di sini, korupsi begitu merajalela. Korupsi adalah privatisasi kekuasaan sebagai sebuah amanat publik. Agaknya itulah sebabnya tiap kebijakan yang mengandalkan intervensi Negara ke dalam perekonomian selalu disertai rasa waswas: kita tak tahu di mana Negara berada. Rasa waswas itu menyebabkan ada dorongan yang kuat – dari mana saja, juga dari pemerintah sendiri — untuk melucuti tangan-tangan birokrasi di pelbagai bidang.

Ketika seorang politikus berteriak, “awas neo-liberalisme dan pasar bebas”, sang politikus umumnya tak menunjukkan bagaimana menegakkan Negara di atas aparatnya yang tertular oleh perilaku berjual-beli di pasar bebas.

Krisis negara-bangsa seperti itulah, krisis karena tubuhnya berlobang-lobang oleh korupsi, yang sebenarnya lebih merisaukan ketimbang apapun.

Tapi tak berarti dalam kelaziman korupsi di Indonesia, negara-bangsa telah disisihkan. Justru sebaliknya: dalam keadaan ketika korupsi merajalela, ada dua dorongan yang seakan-akan bertentangan. Di satu pihak, dorongan untuk mengaburkan posisi “Negara” dalam mengelola pasar: semua keputusan bisa diatur dengan jual-beli kekuasaan. Di lain pihak, posisi “Negara” justru diperkuat, agar ada kebutuhan untuk membeli kekuasaan itu.

Tapi orang-orang masih terus berbicara tentang “neo-liberalisme”, juga di zaman ketika paham itu ditinggalkan.

Diambil dari: http://www.facebook.com/inbox/?drop&ref=mb#/note.php?note_id=77795210274&ref=n

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan mengomentari tulisan ini