5/23/2009

Simbolisme Tugu Proklamasi JK-Win sama dengan simbolisme Springfield, Illinois bagi Abraham Lincoln dan Barack Obama

Simbolisme Tugu Proklamasi JK-Win sama dengan simbolisme Springfield, Illinois bagi Abraham Lincoln dan Barack Obama

Penulis mencoba menganalisa keputusan Pasangan JK-Win menetapkan Tugu Proklamasi sebagai Tempat Deklarasi Resmi sebagai Calon Presiden dan Wakil Presiden, yang dilaksanakan pada Hari Minggu,10 Mei 2009, di tengah keraguan Capres lain untuk menentukan pasangannya, maka ini kemudian semakin membuktikan kecepatan dan ketepatan JK-Win untuk serius menghadapi Pemilu Presiden 2009.

Ketika kita kembali (flash back) melihat sejarah Perjuangan Bangsa yang Besar ini, secara spesifik ketika dikaitkan dengan Tugu Proklamasi sebagai simbol perjuangan, maka ini kemudian akan kembali membangkitkan kesadaran akan sejarah panjang Perjuangan Bangsa ini. Tugu Proklamasi merupakan salah satu simbol perjuangan, bahkan menjadi simbol inti dan puncak dari perlawanan bangsa ini dalam memerdekakan dirinya pada tanggal 17 Agustus 1945.

Memilih Tugu Proklamasi sebagai tempat deklarasi

JK dan Wiranto sadar bahwa Tugu Proklamasi merupakan simbol perjuangan bangsa ini, simbol yang kemudian akan kembali membangkitkan dan menggelorakan semangat ''Kemandirian dan Kemerdekaan" bangsa dalam menghadapi tantangan Global saat ini, sama seperti Harapan Besar Proklamator Soekarno-Hatta di masa silam. Harapan Besar itupun kemudian kembali dibangkitkan oleh JK-Wiranto persis di tempat yang sama, hampir 64 Tahun yang lalu.

Saya kemudian teringat Barack Obama, sang Presiden Amerika Serikat dalam memilih tempat pendeklarasian Pencalonannya, dan tak tanggung2 memilih di Springfield, Illinois. Di podium yang sama, tahun 1858, Abraham Lincoln mendeklarasikan penghentian perbudakan, emansipasi orang keturunan Afrika di AS, dan perlakuan sama di depan hukum bagi semua orang di AS. Orang mengenang Lincoln sebagai seorang senator, muda, dan membawa perubahan pada masa sulit karena terjadi perang saudara. Obama adalah seorang senator, muda, dan menjanjikan perubahan pada masa sulit setelah terjadi perang Irak.

JK dan Wiranto sebagai simbol Nasional bangsa ini kemudian, mencoba membangkitkan semangat-semangat Pembaharuan itu, sama dengan semangat yang dibangkitkan oleh Barack Obama dan Abraham Lincoln,
Semangat Kemandirian menuju Kesejahteraan Bangsa (sesuai dengan tagline Pencapresan), Semangat yang tidak akan pernah lekang oleh zaman,
Semangat membangkitkan kembali kesadaran kita sebagai bangsa yang besar dan memang pernah besar,
Semangat kebersamaan tanpa membedakan etnisitas,
Semangat untuk lebih baik, sebab kita tak pernah lagi akan tertinggal oleh Bangsa lainnya,
Semangat untuk membangkitkan kesadaran bahwa negara dengan sumber daya alamnya dan manusia yang kaya akan makmur jika dikelola oleh orang yang mengerti Bangsa ini.
Sama seperti penuturan Mantan Presiden Lee Kuan Yew, Bahwa JK adalah Sebenar-benarnya Presiden, The Real President, hanya JK lah yang paling mengerti tentang Pengelolaan bangsa ini.

Optimisme inilah yang dibangun JK-Wiranto. Pasangan yang senantiasa tegas, lebih cepat dan lebih baik

Tugu Proklamasi Kemerderkaan Indonesia hari ini, kemudian menjadi titik awal membangun Negara Bangsa, mengingatkan Dwi Tunggal Proklamator Soekano Hatta mendeklarasikan dan Memproklamasikan Kemerdekaan dan Perjuangan Bangsa ini, titik awal membangun bangsa Indonesia.
Itulah mengapa JK-Win mulai kembali membangun bangsa ini dimulai dari titik ini, titik di Tugu Proklamasi-Jakarta

Ayo Maju

Taufik Nur Mas'ud,
Jakarta, 09 Mei 2009

Sumber:http://www.facebook.com/note.php?note_id=97626866527

5/21/2009

Neoliberalisme dan Kebangkrutan Ideologi Kapitalisme

Neoliberalisme dan Kebangkrutan Ideologi Kapitalisme

Oleh: Hidayatullah Muttaqin, SE, MSI

Neoliberalisme (neoliberalism) merupakan sekumpulan kebijakan ekonomi yang merujuk kepada pemikiran bapak ekonomi Kapitalis Adam Smith. Ruh pemikiran ekonomi Adam Smith adalah perekonomian yang berjalan tanpa campur tangan pemerintah. Model pemikiran Adam Smith ini disebut Laissez Faire.
Adam Smith memandang produksi dan perdagangan sebagai kunci untuk membuka kemakmuran. Agar produksi dan perdagangan maksimal dan menghasilkan kekayaan universal, Smith menganjurkan pemerintah memberikan kebebasan ekonomi kepada rakyat dalam bingkai perdagangan bebas baik dalam ruang lingkup domestik maupun internasional.
Dalam bukunya The Wealth of Nations, Smith mendukung prinsip “kebebasan alamiah”, yakni setiap manusia memiliki kebebasan untuk melakukan apa yang diinginkannya tanpa campur tangan pemerintah. Ini mengandung pengertian negara tidak boleh campur tangan dalam perpindahan dan perputaran aliran modal, uang, barang, dan tenaga kerja. Smith juga memandang pembatasan kebebasan ekonomi oleh pemerintah sebagai pelanggaran hak asasi manusia.
Alasan utama Smith yang melarang intervensi pemerintah adalah doktrin invisible hands (tangan gaib). Menurut doktrin ini, kebebasan (freedom), kepentingan diri sendiri (self-interest), dan persaingan (competition) akan menghasilkan masyarakat yang stabil dan makmur. Upaya individu untuk merealisasikan kepentingan dirinya sendiri bersama jutaan individu lainnya akan dibimbing oleh ”tangan tak terlihat”. Setiap upaya individu mengejar kepentingannya, maka secara sadar atau pun tidak indvidu tersebut juga mempromosikan kepentingan publik. Dengan kata lain, Smith mengklaim dalam sebuah perekonomian tanpa campur tangan pemerintah (laissez faire) yang mengedepankan nilai-nilai kebebasan (liberalisme), maka perekonomian secara otomatis mengatur dirinya untuk mencapai kemakmuran dan keseimbangan.
Sebagai varian baru dari pemikiran ekonomi liberal, neoliberalisme dilahirkan untuk menandingi pemikiran ekonomi Keynesian yang mendominasi Barat selama tiga puluh tahun. Krisis minyak yang dimulai pada akhir tahun 1973 mengakibatkan resesi ekonomi, pengangguran dan inflasi di atas 20% di sejumlah negara, dan menyeret negara-negara Dunia Ketiga tidak mampu membayar hutangnya. Sejak saat itu, negara-negara Kapitalis memandang doktrin Keynesian tidak mampu memberikan solusi bahkan dianggap sebagai penyebab krisis.
Krisis minyak mendorong negara-negara Kapitalis menempuh cara baru di dalam mengelola perekonomiannya. Pembatasan fiskal dan kontrol atas money supply menjadi tren baru kebijakan ekonomi di negara-negara Barat. Tahun 1976, IMF memaksa Inggris memangkas belanja publik dan melakukan kontrol ketat atas inflasi. Menurut Norena Heertz, mulai saat itu doktrin Keynesian dengan big government-nya telah sekarat atau bahkan mengalami kematian.
Kesimpulan Heertz tentang matinya doktrin Keynesian tergambar dalam pidato Perdana Menteri Inggris James Callaghan dalam Kongres Partai Buruh. Ia mengatakan: ”Selama ini, kita berpikiran bahwa anda dapat mengatasi krisis dan meningkatkan kesempatan kerja dengan menaikkan pengeluaran pemerintah. Saya beritahukan kepada anda bahwa sekarang hal tersebut tidak berlaku lagi.” Di Amerika Serikat, Presiden Carter pun mengambil langkah memangkas pengeluaran publik sebagai bagian dari stimulus ekonomi.
Di samping doktrin utama laissez faire dan pasar bebas (free market) yang sudah ada sejak Kapitalisme liberal Adam Smith, doktrin ekonomi neoliberal dikembangkan ke dalam kerangka liberalisme yang lebih sistematis. Elizabeth Martinez and Arnoldo Garcia menjelaskan lima kerangka utama neoliberalisme.
1. Free market
Dalam konsep free market swasta dibebaskan dari keterikatannya terhadap negara dan tanggung jawab atas permasalahan sosial yang terjadi karena aktivitas perusahaan mereka. Pengurangan tingkat upah dengan menghapus serikat-serikat pekerja dan memotong hak-hak buruh. Harga dibiarkan bergerak tanpa intervensi pemerintah. Kebebasan total di dalam perpindahan modal, barang, jasa. Para pengusung free market senantiasa menyatakan: ”Pasar yang tidak diatur adalah jalan terbaik untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan memberikan keuntungan bagi setiap orang.”
2. Pembatasan anggaran belanja publik
Anggaran publik seperti kesehatan, pendidikan, pemenuhan air bersih, listrik, jalan umum, fasilitas umum, dan bantuan untuk orang miskin harus dikurangi dan dibatasi sehingga tidak membebani APBN. Pandangan ini sama saja dengan mengurangi peranan pemerintah dalam perekonomian dan pemenuhan kebutuhan publik. Namun di balik paham neoliberal ini, kalangan korporasi dan pemilik modal sangat mendukung subsidi dan pengurangan pajak yang menguntungkan bisnis mereka.
3. Deregulasi
Mengurangi atau bahkan menghapus peraturan-peraturan yang menghambat kepentingan bisnis korporasi dan pemilik modal.
4. Privatisasi
Menjual badan usaha, barang atau pelayan yang menjadi milik negara (BUMN) kepada investor, khususnya aset-aset dalam bentuk bank, industri-industri kunci, kereta api, jalan tol, listrik, sekolah, rumah sakit, dan air bersih. Alasan utama dilakukannya privatisasi untuk mengejar efisiensi. Namun pada faktanya privatisasi justru menciptakan konsentrasi kekayaan ke tangan segelintir orang-orang kaya sedangkan rakyat harus menanggung beban harga-harga public utilities yang mahal.
5. Menghilangkan konsep barang publik
Pemindahan tanggung jawab pengadaan barang dan layanan publik dari tangan negara menjadi tanggung jawab individu. Dengan kata lain, masyarakat harus menemukan sendiri solusi dalam pemenuhan kebutuhan hidup mereka akan barang-barang publik.
Menurut I. Wibowo, kelahiran neoliberalisme didorong empat faktor utama, yaitu (1) munculnya perusahaan multinasional (multinational corporations – MNC) sebagai kekuatan riil dengan nilai aset lebih besar dari pada kekayaan yang dimiliki oleh negara-negara kecil. (2) Munculnya organisasi (rezim internasional) yang berfungsi sebagai surveillance system (sistem pengawasan) dalam memastikan prinsip-prinsip ekonomi liberal berjalan atas seluruh negara di dunia. (3) Revolusi bidang teknologi komunikasi dan transportasi yang menjadi katalisator dan fasilitator terlaksananya pasar bebas dan perdagangan bebas secara cepat ke seluruh dunia. (4) Keinginan negara-negara kuat untuk mendominasi dan menciptakan hegemoni atas negara-negara yang lebih lemah.
Kelahiran neoliberalisme tidak dapat dipisahkan dari keberadaan ideologi Kapitalisme. Karakter liberal yang bersumbu pada ”kebebasan” dan menonjolkan ”kepentingan individu” senantiasa menjadikan kegiatan ekonomi berjalan seperti hukum rimba. Philosuf Inggris Herbert Spencer memandang seleksi alam (survival of fittest) sebagai prinsip wajib kegiatan ekonomi dalam sistem Kapitalisme. Konsekwensinya, perekonomian berjalan dengan cara menindas yang lemah dan memfasilitasi yang kuat (pemilik modal) agar alokasi sumber daya (resources) dan penguasaan pasar berada di tangan pemilik modal.
Kapitalisme merupakan ideologi yang tegak di atas asas Sekularisme yang tumbuh dan berkembang pertama kali di Eropa. Sekularisme adalah paham yang memisahkan agama dari kehidupan dan mengharamkan peranan Tuhan terhadap pemecahan permasalahan manusia, termasuk menentukan nilai baik dan buruk, benar dan salah. Sekularisme menempatkan rasio (akal) manusia dan emperisme di atas segala-galanya. Dengan Sekularisme, Kapitalisme memandang dunia dan memecahkan permasalahan kehidupan. Akibatnya Kapitalisme menjadi ideologi yang tidak bermoral, mengedepankan profit dan kepuasan materi, serta menindas umat manusia.
Menurut Betrand Russel, inti pemikiran yang terkandung dalam Sekularisme adalah kebebasan individu. Kebebasan indvidu diperlukan untuk menjaga dan menyebarkan Sekularisme ke seluruh dunia. Kebebasan individu tersebut dibagi ke dalam empat jenis, yaitu: kebebasan beragama (freedom of religion), kebebasan berpendapat (freedom of speech), kebebasan kepemilikan (freedom of ownership), dan kebebasan berperilaku (freedom of behavior).
Kebebasan kepemilikan adalah paham yang memandang seseorang dapat memiliki harta/modal dan mengembangkannya dengan sarana dan cara apa pun. Dari prinsip kebebasan kepemilikan inilah lahir pandangan tentang sistem ekonomi Kapitalis. Bahkan karena peranan pemilik modal (kaum kapitalis) sangat menonjol dalam negara sehingga merekalah penguasa sebenarnya daripada para politisi, maka ideologi yang berasas Sekularisme ini pun disebut ideologi Kapitalisme.
Implikasi kebebasan kepemilikan sebagai bagian dari kebebasan individu adalah dominasi kepemilikan individu di tengah perekonomian. Meskipun prinsip kebijakan negara menata jalannya perekonomian tanpa campur tangan pemerintah (laissez faire), namun karena dominasi pemilik modal atas sistem politik dan perundang-undangan, kebijakan negara justru tunduk pada kepentingan kaum kapitalis.
Sektor-sektor perekonomian yang secara faktual menguasai hajat hidup orang banyak atau semestinya dikuasai negara untuk mencegah konsentrasi kepemilikan di tangan segelintir orang malah diserahkan kepada mekanisme pasar yang sudah jelas didominasi kaum kapitalis. Secara logis laissez faire hanya menjadi alat kaum kapitalis untuk mencegah dominasi negara atas perekonomian, menghalang-halangi distribusi kekayaan yang adil di tengah masyarakat, dan menjadikan negara sebagai alat untuk melegalisasi ”kerakusan” kaum kapitalis. Dalam sistem ini fungsi negara hanyalah untuk merealisasikan kepentingan segelintir individu saja.
Adapun perubahan pemikiran ekonomi dari mainstream (aliran utama) ekonomi pasar yang liberal ke mainstream Keynesian yang sarat intervensi negara (big government) pasca Depresi Besar (Great Depression) 1929, dan kembali liberal pasca krisis minyak dunia 1973 dengan mainstream neoliberalnya merupakan dinamika pemikiran ekonomi yang berkembang dalam sistem Kapitalisme. Dinamika pemikiran ini tidak mengubah ideologi Kapitalisme itu sendiri walau pun di dalamnya terdapat aliran-aliran pemikiran yang saling bertolakbelakang dan kebijakan yang saling kontradiktif. Sebab hakikatnya tidak ada perubahan pada asas Sekularisme yang menjadi pikiran pokok dan standar nilai Kapitalisme. Perubahan hanya terjadi pada pemikiran cabang ideologi ini, yakni pemikiran ekonomi.
Ketika ekonomi pasar mengalami kehancuran konseptual dengan krisis berat yang melanda Barat pada 1929, J.M. Keynes maju dengan pemikiran yang bertolakbelakang dengan ekonomi pasar yang terangkum dalam bukunya The General Theory of Employment, Interest and Money (pertama kali terbit 1936). Keynes menawarkan alternatif bahwa negara harus melakukan intervensi untuk mengangkat kembali perekonomian dari keterpurukan. Negara harus mengisi kekosongan peranan swasta yang sebelumnya mendominasi perekonomian. Negara harus menjalankan kebijakan defisit dengan membuat anggaran belanja yang lebih besar untuk menciptakan lapangan kerja.
Apa yang dilakukan Keynes dan kemudian diadopsi oleh negara-negara Barat bukanlah sebuah pengingkaran terhadap Kapitalisme. Menurut Mark Skousen, Keynes justru menjadi penyelamat Kapitalisme dari kehancuran. Meskipun pemikiran ekonominya bertolakbelakang dengan doktrin laissez faire, Keynes tidak melepaskan tolak ukur pemikirannya dari Sekularisme.
Abdurrahman al-Maliki memandang Kapitalisme sebagai sistem ekonomi dengan strategi ”tambal sulam”. Strategi ini digunakan untuk menutupi kebobrokan Kapitalisme dan melestarikan keberadaan institusinya dari kebangkrutan. Strategi ”tambal sulam” dijalankan dengan cara mencangkokkan ide tentang keadilan sosial ke dalam negara (welfare state) dengan konsekwensi pergeseran peranan ekonomi dari tangan swasta ke tangan negara (big government).
James Petras melihat dalam sebuah rezim yang menganut Kapitalisme, pemerintah memiliki dua buah rencana. Yakni rencana yang beroirentasi liberal (neoliberalism) dan berorientasi kesejahteraan sosial (social welfare). Jika kebijakan orisinil (ekonomi liberal) mengalami kegagalan maka pemerintah akan mengubah orientasi kepada kesejahteraan sosial. Perubahan ini semata-mata untuk merebut hati masyarakat dengan tujuan mempertahankan kekuasaan dan sistem.
Dinamika pemikiran ekonomi yang saling bertolakbelakang dalam Kapitalisme merupakan konsekwensi logis dari ideologi ini dalam menentukan sumber hukum. Sebab sumber hukum dalam Kapitalisme digali dari realitas, sehingga perkembangan pemikiran ekonomi sangat bergantung pada perkembangan realitas ekonomi di tingkat domestik dan dunia. Sedangkan realitas ekonomi yang berkembang merupakan hasil penerapan Kapitalisme itu sendiri. Jika realitas ekonomi tidak kondusif bagi Kapitalisme yang memaksa negara memodifikasi kebijakan ekonominya secara prinsipil, maka itulah tanda kelemahan dan kebobrokan sistem Kapitalisme.
Misalnya, realitas sekarang menunjukkan krisis finansial global yang terjadi sejak 2007 telah meluluhlantakkan sistem keuangan negara-negara kapitalis dengan kerugian trilyunan dolar AS, dan ancaman kebangkrutan tidak hanya menimpa korporasi finansial tetapi juga korporasi yang bergerak di sektor riil di seluruh dunia. Jika negara-negara kapitalis tidak melakukan intervensi di sektor finansial dan penyelamatan sektor riil untuk menjaga konsistensi doktrin laissez faire, maka sudah dapat dipastikan sistem keuangan Barat berada di jalan buntu, kebangkrutan korporasi secara massal, PHK yang jauh lebih besar dari PHK massal tahun ini (2008), jatuhnya daya beli masyarakat dalam tingkat yang siknifikan, dan kepanikan yang sangat mungkin menciptakan prahara ekonomi jauh lebih dasyat dibandingkan Depresi Besar 1929.
Karena itu bailout dan berbagai bentuk intervensi lainnya yang terjadi secara massive harus dilihat sebagai upaya penyelamatan institusi ideologi Kapitalisme walau pun negara-negara penganut Kapitalisme harus mengingkari ”akidah” ekonominya yakni laissez faire. Di satu sisi intervensi ini mencerminkan negara-negara kapitalis telah berlaku ”munafik”, di sisi lain intervensi tersebut merefleksikan ”konsistensi” negara kapitalis dalam melindungi kepentingan pemilik modal dan selalu membebankan biayanya ke pundak rakyat.
Realitas ekonomi yang buruk pada dasarnya cermin kegagalan sistem Kapitalisme. Meskipun secara institusi Kapitalisme belum berakhir, namun secara konseptual (ide) Kapitalisme telah mengalami kebangkrutan bahkan sejak Depresi Besar 1929.
Sebagai ideologi buatan manusia yang tentu saja memiliki cacat bawaan, negara-negara kapitalis senantiasa melakukan metode tambal sulam untuk menutupi kebobrokan Kapitalisme. Jika sekarang di negara-negara Barat Laissez Faire sedang dicampakkan, neoliberalisme sedikit dipinggirkan dengan adanya nasionalisasi parsial, maka hakikatnya Barat sedang menambal kecacatan ideologi untuk mencegah keruntuhan institusinya. Tambal sulam ini dilakukan pada kondisi-kondisi tertentu, yakni pada saat pemerintahan-pemerintahan Barat tidak dapat menghadapi realitas ekonomi di negara mereka hanya dengan laissez faire. []

Hidayatullah Muttaqin adalah dosen tetap Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin dan Ketua Lajnah Siyasiyah DPD I HTI Kalimantan Selatan.
February 7th, 2009

Kegagalan Kapitalisme dan Solusi Islam untuk Krisis Keuangan Global

Kegagalan Kapitalisme dan Solusi Islam untuk Krisis Keuangan Global

Oleh: Firmansyah

A. Pendahuluan
Rontoknya saham-saham di bursa saham dunia merupakan fenomena yang sangat mengejutkan. Namun, hal ini tidaklah aneh. Sebab sudah dari dulu terjadi krisis keuangan yang diakibatkan oleh sistem ekonomi ribawi yang eksploitatif dan membuat perekonomian didominasi sektor non riil (unriil sector).
Ambruknya bursa saham Wall Street di tahun 1929 yang disusul oleh resesi ekonomi yang berkepanjangan di tahun 1930-an, 1940, 1970, 1980, Black Monday 1987, krisis moneter tahun 1997 di regional Asia, dan sekarang krisis keuangan global tahun 2008. Seolah-olah krisis “ditidakdirkan” tidak akan pernah berakhir dalam perekonomian dunia yang berkiblat pada Kapitalisme.
Nilai ekonomi non rill seperti transaksi di lantai bursa saham melebihi dari nilai transaksi barang dan jasa. Transaksi di lantai bursa dunia nilainya dapat mencapai 700 triliun dollar AS dalam satu tahun. Sementara itu, hanya sekitar 7 triliun USD saja nilai arus barang dan jasa yang diperdagangkan atau hanya seperseratusnya.
Ketidakseimbangan Nilai trasanksi antara sektor riil dan sektor non riil mengakibatkan krisis keuangan dunia. Anjloknya harga saham membuat para spekulan kelimpungan layaknya orang yang usahanya bangkrut membutuhkan dana segar agar tetap liquid. Biasanya mereka membutuhkan dollar baru sebagai dana segar. Jika permintaan dollar meningkat maka nilai dollar akan naik (terapresiasi). Sebaliknya mata uang domestik. seperti Rupiah akan terdepresiasi.
Inilah kanal penghubung ekonomi non riil¬ dalam menghancurkan ekonomi riil. Jika nilai dollar naik maka barang modal industri yang sebagian besar masih impor akan “terseret” naik. Logikanya kalau barang modal naik maka harga jual barang/jasa akan ikut naik dan inilah yang biasa disebut oleh para ekonom sebagai INFLASI. Karena itu lazimnya krisis ekonomi selalu disertai inflasi. Inflasi menyebabkan daya beli masyarakat turun sehingga daya serap pasar atas barang dan jasa juga menurun. Kondisi ini menyebabkan kerugian dan PHK pada sektor industri/manufaktur dan retail.
B. Krisis Keuangan Global 2008
Krisis keuangan global 2008 memiliki dampak yang “luar biasa”. Krisis yang berpusat di Amerika Serikat menimbulkan efek domino di seluruh dunia. Negara-negara Eropa pun terkena imbasnya. Karena itu empat negara besar Perancis, Jerman, Inggris dan Italia pun mengadakan pertemuan darurat guna mengkaji sistem moneter mereka. Bahkan, 10 Oktober 2008, Rusia mengajukan proposal aliansi Eropa-Rusia anti AS.
Efek domino itu kini secara kasat mata menerjang perekonomian Indonesia. Ini terlihat dari anjloknya bursa saham dan pasar uang Indonesia yang mengakibatkan penutupan BEI (Bursa Efek Indonesia) sejak Rabu 8 Oktober 2009. Penutupan dilakukan setelah indeks BEI “terjun bebas” 10,30 persen. Krisis keuangan juga menyebabkan turunnya ekspor dan berkurangnya arus modal masuk sehingga mendorong pelemahan rupiah.
Jum’at 10 Oktober 2009, rupiah melemah dan diperdagangkan pada kisaran Rp. 10.300 per dolar AS. Dengan pelemahan rupiah yang cukup siknifikan, maka cadangan devisa Indonesia akan menguap. Jika rupiah melemah Rp. 9.500 per dolar saja, sekitar Rp 500 triliun aset Indonesia telah menguap begitu saja, lalu berapa aset kita yang menguap dengan kurs rupiah saat ini?
B.1 Subprime mortgage
Krisis keuangan global yang terjadi hingga detik ini belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Krisis ini dipicu oleh kredit macet sektor properti (subprime mortgage) di AS. Di negeri asalnya, rangkaian krisis tersebut sudah berlangsung sejak 147.708 nasabah KPR gagal bayar pada April 2007. Meningkat menjadi 239.851 nasabah pada Agustus tahun yang sama, dan naik lagi pada Agustus tahun berikutnya menjadi 303.879 nasabah.
Korban pertama dari kredit macet tersebut adalah dua hedge fund (pengelola dana investasi) yang dikelola oleh Bear Stearns. Perusahaan tersebut ambruk pada Juli 2007. Disusul kemudian dengan ambruknya Morgan Stanley pada November 2007, dan meruginya bank-bank global senilai 55 miliar dolar AS. Sekalipun perusahaan milik Uni Emirat Arab telah menyuntikkan 9,5 miliar dolar AS ke Citigroup, namun tetap tidak mampu menyelamatkan keadaan. Tidak hanya itu, Cina pun menyuntikkan 5 miliar dolar AS ke Morgan Stanley, termasuk Temasek Holding Singapura juga melakukan hal yang sama ke Merrill Lynch. Bahkan hutang-hutang bermasalah itu sudah dihapus oleh bank-bank global (seperti Citigroup, UBS dan HSBC), yang nilainya mencapai 300 miliar dolar AS, pada Januari-Februari 2008.
Semua itu belum membuahkan hasil. Hal ini membuat hingga kaum Kapitalis yang berkeyakinan negara tidak boleh intervensi pun terpaksa mengingkari keyakinannya sendiri. Adalah Inggris yang pertama kali menasionalisasi bank swasta, Northern Rock, 17 Februari 2008. Diikuti oleh Amerika dengan menasionalisasi perusahaan pembiayaan sektor properti, Fannie Mae dan Freddie Mac, 13 Juli 2008. Namun, rupanya pemerintah AS tidak mampu mengakuisisi semua perusahaan bermasalah. 15 September 2008, Lehman Broters Holdings Inc terpaksa dibiarkan ambruk. Setelah itu, 3 Oktober 2008 yang lalu, DPR AS menyetujui paket penyelamatan yang diajukan oleh Menkeu AS, Henry Paulson, dengan mengeluarkan dana talangan 700 miliar dolar AS.
Paket dana talangan tersebut dinilai tidak efektif untuk mengatasi krisis keuangan di negara tersebut, karena isi paket bailout dianggap tidak manjur untuk menyembuhkan akar permasalahan krisis di AS, bahkan bergerak menuju kehancurannya. Sebaliknya, suntikan dana ke bursa justru bagaikan darah segar bagi para spekulan saham di Wall Street.
B.2 Kebangkrutan Lehman Brothers
Bank investasi raksasa Lehman Brothers telah menjadi korban berikutnya dari krisis kredit macet di AS. Kejadian ini mengejutkan lantaran belum lama ini Pemerintah AS terpaksa mengambil alih raksasa pembiayaan perumahan Fannie Mae dan Freddie Mac untuk memperbaiki sistem finansial perumahan di negeri itu.
Kemudian giliran bank investasi Lehman Brothers yang menjadi korban. Dalam penjelasannya, bank yang sudah berusia 158 tahun itu mengajukan kebangkrutan demi melindungi aset dan memaksimalkan nilai perusahaan bagi pemegang saham. Kebangkrutan ini adalah yang terbesar dalam sejarah AS. Lehman Brothers mencatat kerugian sekitar USD 3,9 miliar pada triwulan III/2008 menyusul beberapa kejadian penghapusan buku pada aset kredit perumahan yang dipegang perusahaan itu.
Aset piutang berbasis kredit tersebut terpaksa dihapuskan dari laporan keuangan karena gagal ditagih akibat memburuknya kredit macet. Bank investasi terbesar keempat AS ini menyampaikan formulir kebangkrutan kepada United States Bankruptcy Court for the Southern District of New York pada Senin (15/9) waktu setempat.
Pengumuman kebangkrutan itu muncul setelah lehman Brothers gagal mendapatkan investor baru. Keputusan ini sekaligus menjadi akhir dramatis dari pertemuan tiga hari berturu-turut yang digelar para bankir, Bank Sentral AS, dan Departemen Keuangan AS. Meski pemerintah AS telah mengambil langkah penyelamatan 700 miliar dollar dan George W.Bush telah menandatangani UU Bill Out, pasar tetap merespon negatif. Harga saham terus anjlok danbergejolak.
Bila harga saham terus merosot, kecenderungan orang Amerika untuk memegang uang tunai akan kian menggila. Konsumen akan mengempit uang kontan untuk berjaga-jaga dan mereka berhenti berbelanja. Impor Amerika dari negara-negara lain termasuk Indonesia pun akan terhenti. Alhasil, perekonomian akan mandek dan penciutan tenaga kerja akan terus meningkat. Ujung-ujungnya, daya beli penduduk pun akan kian terkikis. Perekonomian Amerika bisa terkena double deep, yakni keluar dari krisis masuk dalam krisis yang lain.
B.3 Rontoknya bursa saham global
Kabar bangkrutnya salah satu bank investasi terbesar di dunia, Lehman Brothers, akibat krisis kredit perumahan di Amerika Serikat membuat bursa saham global terguncang pada perdagangan Senin 15 September waktu setempat. Pelaku pasar khawatir kebangkrutan lehman Brothers akan mengancam sistem keuangan global. Bursa saham Eropa melemah hingga 5 persen pada perdagangan siang hari. Di london, harga saham grup perbankan HBOS jatuh hingga 20,2 persen. Di Jerman, Commerrzbank anjlok 11,7 persen dan Deutsche Bank jatuh 8,24 persen. Dow Jones Industrial Average (DJIA) tumbang 2,53 persen beberapa saat setelah pembukaan pasar.
Di Indonesia, 8 Oktober jam 11.05 WIB Bursa Efek Indonesia melakukan suspend, penutupan transaksi di lantai bursa. Sebuah langkah yang belum pernah terjadi dalam sejarah lantai bursa di Indonesia, setelah Rusia sebelumnya juga melakukan hal yang sama. IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan) anjlok ke 10,38 persen. Suspend dilakukan untuk menghindari terus-menerus anjloknya harga saham karena aksi jual yang terus dilakukan investor.
Terjungkalnya pasar saham AS membuat nilai asset bank dan lembaga keuangan lainnya berjatuhan. Ribuan investor di AS stress karena uangnya raib. Uang para pensiunan di AS yg diinvestasikan menguap 2 Triliun dolar. Puluhan ribu karyawan tiba-tiba kehilangan pekerjaan melengkapi tingginya tingkat pengangguran di AS. Sebanyak 2.5 juta warga Amerika rumahnya disita karena tidak mampu membayar cicilan.
Respon nagatif oleh pasar diperparah dengan penarikan dana oleh warga AS secara besar-besaran dari perbankan yang mengakibatkan terganggunya likuiditas perbankan. Akibatnya, saluran kredit menjadi macet dan perekonomianpun mandeg. Krisis yang harus dibayar dengan sangat-sangat mahal yang tidak cukup hanya dengan sebuah upaya penyelamatan bernilai USD 700 miliar atau sekitar Rp 6.450 triliun itu.
B.4 Penyebab krisis keuangan global
1. Pasar modal (stock exchange)
Sesungguhnya, skandal keuangan yang terjadi pada beberapa perusahaan besar Amerika merupakan pemicu keterpurukan bursa saham Amerika atas keroposnya sistem keuangan kapitalisme. Pertumbuhan ekonomi ala Kapitalisme memang dapat meningkatkan pertumbuhan sektor non riil dengan sangat pesat. Akan tetapi, ia akan menghadapi bahaya pertumbuhan itu sendiri, yakni bahaya ‘gelembung ekonomi’ (bubble economy). Ini ditandai dengan meningkatnya harga saham-saham dengan pesat hingga akhirnya harga saham kelewat mahal serta melebihi kapasitas dan kemampuannya berproduksi.
Pada saat yang sama, para analis saham pun terus memberikan rekomendasi beli sehingga saham diburu dan harga terus menggelembung. Pada satu saat, penggelembungan itu akan mencapai titik jenuh. Ibarat balon yang terus ditiup sampai besar, ia akhirnya meletus.
Perlu dicatat, krisis yang terjadi sekarang merupakan krisis yang berulang. Pada minggu terakhir Oktober 1987, harga-harga saham di bursa-bursa saham utama dunia jatuh berguguran; berawal di Hongkong, lalu merembet ke Jepang, Eropa, dan akhirnya mendarat di Amerika. Anjloknya harga saham tersebut teradi secara berurutan dari satu negeri ke negeri lainnya.
Tragedi serupa terjadi pada bulan dan tahun yang sama, yakni ketika indeks harga saham di New York turun 22% dalam sehari. Indeks utama saham-saham industri Dow Jones jatuh ke titik terendah setelah Worldcom -perusahaan telekomunikasi kedua terbesar di AS- mengajukan proteksi kepailitan ke pengadilan. Disusul kebangkrutan perusahaan energi, Enron, Desember 2001. Lebih ke belakang lagi, peristiwa serupa pernah terjadi pula pada tahun 1929. ketika itu, jatuhnya nilai saham di Amerika telah menimbulkan depresi ekonomi yang sangat parah sehingga menimbulkan kemelaratan, kelaparan, dan kesengsaraan yang berkelanjutan. Akhirnya, Presiden Roosevelt memutuskan untuk melibatkan Amerika dalam kancah Perang Dunia II dalam rangka membangkitkan Amerika dengan cara memproduksi kebutuhan-kebutuhan perang yang sangat besar.
2. Pasar uang (money market)
Sebagaimana diketahui, sistem Pasar Modal tidak akan berfungsi dan berkembang tanpa adanya dukungan sistem-sistem pokok perekonomian lainnya seperti perseroan terbatas (PT), sistem perbankan ribawi, dan sistem uang kertas inconvertible. Ketiga sistem tersebut secara sinergis membagi perekonomian Kapitalisme menjadi dua sektor: (1) sektor reil, yang di dalamnya terdapat aspek produksi dan perdagangan; (2) sektor ekonomi modal/kapital, yang oleh kebanyakan orang disebut sektor non reil yang didalamnya terdapat aspek penerbitan dan jual beli surat-surat berharga yang beraneka ragam.
Saat ini perdagangan di sektor non riil ini telah sedemikian jauhnya, sehingga nilai transaksinya berlipat ganda melebihi nilai sektor riil. Hampir semua negara di dunia ini terjangkit bisnis spekulatif seperti perdagangan surat berharga/utang di bursa saham (stock exchange) berupa saham, obligasi (bonds), commercial paper, promissory notes dsb; perdagangan uang di pasar uang (money market); serta perdagangan derivatif di bursa berjangka.
Bagaimana sektor non riil ini bergerak dengan sangat cepat bisa ditelusuri sejak awal tahun 1980. Dalam rangka meningkatkan kapasitas permodalan, perusahaan-perusahaan multinasional di Amerika mulai memanfaatkan dana-dana menganggur yang berada di lembaga-lembaga dana pensiun, asuransi, dsb; juga memburu dana murah di pasar modal atau bermain valuta asing di pasar uang. Cara ini kemudian menjalar ke negara-negera industri lainnya di Eropa dan Jepang, kemudian ke negara-negara industri baru seperti Singapura, Hongkong, dsb hingga terus bergulir ke semua negara sampai ke level perusahaan. Tindakan tersebut mengakibatkan terjadinya peningkatan arus moneter yang luar biasa dahsyatnya tanpa diimbangi oleh peningkatan arus barang dan jasa.
Data menunjukkan bahwa riilitas perdagangan uang (sektor non riil) dunia telah berlipat sekitar 80 kali dibandingkan dengan sektor riil. Hal ini merupakan fenomena “keterkaitan” antara sebagian besar perputaran uang dengan arus barang dan jasa. Ini berarti telah terjadi secara global apa yang disebut bubble economy, karena kegiatan ekonomi dunia didominasi oleh kegiatan sektor non riil yang spekulatif. Dalam satu hari saja sudah sekitar 1-2 triliun dollar AS dana spekulasi tersebut gentayangan mencari tempat yang paling menguntungkan di dunia. Bila diakumulasikan dalam satu tahun nilainya mencapai 700 trilyun dollar.
Sementara itu, hanya sekitar 7 triliun saja nilai arus barang dan jasa yang diperdagangkan atau hanya seperseratusnya. Sektor non riil berlipat kali lebih besar daripada nilai total barang-barang dan jasa-jasa yang diproduksi oleh aktifitas ekonomi negeri-negeri kapitalis maju. Ini kemudian melahirkan raksasa-raksasa financial Amerika sebagai transnational company seperti the Rockefellers, Mellons, Morgans, DuPonts, Whitneys, Warbrugs, Vanderbilts, Goldman Sach, Lehman Brothers, dan masih banyak lagi. Mereka bukan saja menguasai bank-bank dan perusahaan-perusahaan asuransi, namun juga perusahaan-perusahaan industri; tidak saja di Amerika, tetapi juga di dunia.
Dari sini sekaligus kita dapat mengetahui betapa timpangnya perbandingan sektor non riil dan sektor riil, jauh dari harapan ekspektasi pertumbuhan ekonomi. Betapa pula pertumbuhan ekonomi versi kapitalisme hanya merupakan pertumbuhan semu, bukan pertumbuhan sebenarnya.
Lebih “runyam” lagi, dengan desakan globalisasi dan liberalisasi yang kita terima secara taken for granted itu, pemanfaatan dana-dana untuk spekulasi dalam kegiatan pasar modal dan uang semakin intensif. Dengan begitu, semakin terbuka sektor moneternya (pasar uang dan pasar modal) suatu negara, akan semakin tinggi resiko perekonomiannya terhadap segala gejolak ekonomi eksternal.
Inilah yang terjadi di Indonesia. Dampak yang tidak menguntungkan dari kondisi tersbut adalah ketergantungan ekonomi negara-negara berkembang terhadap permainan pihak asing. Kondisi ini diperparah oleh ketentuan-ketentuan WTO yang telah menjerumuskan negara-negara berkembang ke dalam situasi ketergantungan pada kekuatan ekonomi asing.
Bersamaan dengan itu, maraknya fenomena kegiatan ekonomi dan bisnis spekulatif (terutama di dunia pasar modal, pasar valuta asing) membuat dunia dibayangi “hantu” bubble economy, yaitu gelembung ekonomi yang besar dalam perhitungan kuantitas moneternya namun tak diimbangi oleh sektor riil. Bahkan sektor riil amat jauh ketinggalan- sehingga sewaktu-waktu akan meletus.
Dengan demikian, kita dapat membayangkan rapuhnya jaringan keuangan dan perdagangan sistem Kapitalisme yang saat ini telah menggurita di seluruh dunia. Dasar-dasar sistem keuangan dan perdagangannya lebih banyak dipenuhi oleh angan-angan dan khayalan. Ini terbukti dengan makin menggelembungnya sektor non riil ratusan kali lipat dibandingkan dengan pertumbuhan sektor riil. Jaringan keuangan dan perdagangan mereka bagaikan jaring laba-laba, sangat rapuh dan kehancurannya adalah sesuatu yang niscaya tinggal menunggu waktu.
Ambruknya sistem keuangan global yang kesekian kalinya ini, akan menjadi salah satu catatan sejarah dalam peristiwa peralihan pemegang peradaban dunia, dari kapitalisme ke Dien Islam, Insya Allah.
C. Solusi Islam Mengatasi Krisis Keuangan Global
C.1 Solusi dari sisi makro ekonomi
C.1.1 Sistem moneter berbasis emas & perak
Artinya mengubah mata uang berbasis kertas (fiat money) dengan berbasis emas. Secara ekonomi makro, Islam memiliki sistem moneter yang tahan inflasi. Karena nilai nominal dari suatu uang akan sama dengan nilai intrinsiknya (full bodied money). Artinya jika kita memiliki uang kertas Rp.100.000,- maka di bank sentral terdapat emas yang seharga dengan uang itu sebagai back-upan, sehingga uang kita itu benar-benar berharga bukan hanya seonggok kertas yang tidak berharga.
Oleh karena itu, satu-satunya jalan untuk keluar dari krisis yang diakibatkan oleh sistem moneter adalah dengan kembali ke sistem moneter berbasis emas. Sistem ini mampu menstabilkan moneter dunia dalam kurun waktu yang sangat lama. Lebih dari itu, sistem ini kebal dari inflasi. Hal ini terbukti dengan daya beli 1 Dinar (4,25 grm emas) pada zaman Rasulullah SAW. yang bisa ditukarkan/bisa untuk membeli 1 ekor kambing. Pada saat ini pun 1 Dinar dapat untuk membeli 1 ekor kambing Kualitas Super (1 Dinar = 4,25 grm X Harga 1 gram Emas Domestik Rp.295.000 = Rp. 1.253.750). Sungguh “luar biasa” selama lebih dari 1400 tahun inflasinya hampir 0 %. Bandingkan dengan laju inflasi Indonesia year on year desember 2008 terhadap desember 2007 sebesar 11,6 % ( www.bps.go.id Released 5 januari 2009).
Disebabkan kestabilan sistemmoneter berbasis emas itulah maka banyak orang menyerukan untuk kembali ke sistem emas. Sistem ini bersifat universal dan fixed. Ketika Anda memiliki 100 gram emas, maka ia dapat ditukarkan dengan mata uang apapun di dunia ini, tanpa mengurangi sedikitpun nilainya. Ini menunjukkan bahwa sistem ini bersifat universal dan tidak terpengaruh oleh sekat bangsa, negara, maupun kekacauan politik.
Menurut an-Nabhani (1990) ada keharusan untuk menjadikan emas dan perak sebagai standar mata uang dalam sistem ekonomi Islam. Beberapa argumentasi yang mendasari keharusan tersebut adalah:
a) Ketika Islam melarang praktik penimbunan harta (kanzul mal), Islam hanya mengkhususkan larangan penimbunan harta untuk emas dan perak. Larangan ini merujuk pada fungsi emas dan perak sebagai uang atau alat tukar (medium of exchange).
“Dan orang-orang yang menimbun emas dan perak, serta tidak menafkahkannya di jalan Allah (untuk jihad), maka beritahukan kepada mereka (bahwa mereka akan mendapatkan) azab yang pedih” (TQS at-Taubah [9]: 34).
b) Islam mengaitkan emas dan perak dengan hukum-hukum Islam lainnya, seperti diyat dan pencurian. Islam menentukan diyat dengan ukuran tertentu dalam bentuk emas. Islam juga mengenakan sanksi potong tangan terhadap praktik pencurian dengan ukuran melebihi emas sebesar ¼ dinar.
“Bahwa di dalam (pembunuhan) jiwa itu terdapat diyat berupa 100 unta dan terhadap pemilik emas (ada kewajiban) sebanyak 1.000 dinar” (HR an-Nasa’i dan Amru bin Hazam).
“Tangan itu wajib dipotong, (apabila mencuri) 1/4 dinar atau lebih.” (HR Imam Bukhari, dari Aisyah r.a.).
c) Zakat uang yang ditentukan Allah Swt berkaitan dengan emas dan perak. Allah Swt. juga telah menentukan nisab zakat tersebut dengan emas dan perak.
d) Rasulullah saw. telah menetapkan emas dan perak sebagai uang sekaligus sebagai standar uang. Setiap standar barang dan tenaga yang ditransaksikan akan senantiasa dikembalikan kepada standar tersebut.
e) Hukum-hukum tentang pertukaran mata uang (money changer) dalam Islam yang terjadi dalam transaksi uang selalu hanya merujuk pada emas dan perak, bukan dengan yang lain. Hal ini adalah bukti yang tegas bahwa uang tersebut harus berupa emas dan perak, bukan yang lain.
Nabi saw. bersabda,”Emas dengan mata uang (bisa terjadi) riba, kecuali secara tunai” (HR Imam Bukhari).
Oleh karena itu, ketika syara’ menyatakan lafadz-lafadz emas dan perak, bisa diperuntukkan dua hal: Pertama, untuk jenis uang yang dipergunakan dalam melakukan transaksi, baik berupa tembaga, kertas uang, atau lainnya, asalkan mempunyai penjamin berupa emas dan perak. Kedua, untuk emas dan perak itu sendiri. Dengan demikian, uang jenis apa pun, baik emas maupun perak, uang kertas, tembaga, ataupun yang lain, dapat digunakan sebagai mata uang selama memungkinkan untuk ditukarkan menjadi emas dan perak, karena emas dan peraklah yang menjadi standar.
C.1.1.1 Cara praktis mengkonversi dinar emas
Komponen jumlah uang yang ada di masyarakat pada umumnya dikenal dengan istilah M1 (Uang yang beredar dimasyarakat, co: uang kertas/logam), sedangkan M2 (Simpanan uang yang ada di Bank seperti tabungan, rekening giro, deposito, dll). Pada umumnya M1 & M2 inilah yang dijadikan acuan utama untuk mengetahui & mengontrol arus uang yang beredar dimasyarakat.
Jadi praktisnya begini : jika dinegeri muslim ini berdiri Khilafah dan diketahui:
a) M1=Rp.200 Triliun dan M2 ( standar biasanya 5 kalinya) = Rp.1000 Triliun
b) 1USD= Rp.12.000 (Kabar Pasar TV One, 04/12/2008)
c) 1Dinar= 4,25 gram emas (dinar syar’i)
d) 1 troy ounce emas= 31,103 gram emas internasional
e) 1 troy ounce emas= USD 769,2 (Kabar Pasar TV One, 04/12/08), maka 1grm emas internasional=USD 24,73 (di dapat dari USD 769,2 : 31,103 gr). Dan 1USD= 0,04 gr emas internasional (31,103 gr : USD 769,2)
f) Harga emas Domestik =Rp.295.000/gram (MediaBisnisOnline.com, 25/11/08),
maka 1 gram emas domestik= USD 24,58 (Rp.295.000 : Rp.12.000). Dan 1USD= 0,04 gr emas domestik dari (Rp.12.000 : Rp.295.000)
Dit : Jika Kondisinya demikian, bagaimanakah merubah mata uang kertas menjadi mata uang berbasis emas/Dinar ?
Jawab :
Khilafah harus memiliki cadangan devisa sejumlah Rp.1.200 Triliun atau setara dengan USD 100 Miliar (Rp.1.200 T : Rp.12.000). maka Khilafah harus mengadakan emas setara dengan 4,068 Miliar gram emas domestik (USD 100 M : USD 24,58) atau setara dengan 957,3 juta Dinar (4,068 M gr : 4,25 grm).
Kalau ketersediaan emas di dalam negeri tidak ada atau tidak mencukupi, maka Khilafah harus membeli emas ke pasar internasional dengan harga USD 769,2/Troy ounce. Oleh karena itu jika Khilafah membutuhkan cadangan devisa Rp.1.200 Triliun= USD 100 M, maka khilafah butuh emas sbb:
USD 100 M X 0,04 gram emas internasional = 4 Miliar gram emas internasional
Atau
128,6 juta Troy ounce emas internasional (4 Miliar grm : 31,103 gram)
Atau
941,176 Juta Dinar (4 Miliar gram : 4,25 gram)
Perlu diketahui oleh rakyat indonesia bahwa emas yang berhasil dikeruk oleh PT. Freeport Mc Moran di Tembagapura Papua adalah rata-rata 200.000 grm/hari sejak orde baru (Tahun 1966) mengizinkannya.TAPI KEMANA LARINYA emas itu?, kita bukanlah orang tolol yang bisa dibodohi begitu saja dan harus kita buktikan itu.
Jadi intinya kalau ingin merubah Rupiah-uang kertas menjadi dinar, maka harus didapatkan dulu emas sebagai back-upan dari dinar itu sendiri. Akhirnya kalau kita memiliki uang Nominal 1 Dinar maka kita secara otomatis memilki nilai Intrinsik emas 4,25 gram emas di bank sentral. Dan uang inilah yang disebut sebagai uang betulan yang tahan akan inflasi.
Yang bisa merubah sistem moneter menjadi berbasis emas hanyalah institusi negara khilafah, tidak akan bisa kalau orang-perorang melakukannya. Seandainya ingin rupiah kuat maka seharusnya bank sentral indonesia melepas dollar yang tak lebih dari seoggok kertas biasa dengan membeli emas sebanyak mungkin untuk memback-up rupiah, agar nilai nominal rupiah sama dengan niali intrinsiknya. Jadi daripada menyimpan dollar-uang kertas sebagai cadangan devisa lebih baik kita menyimpan cadangan devisa dalam bentuk emas yang tahan inflasi.
Jika Khilafah menghendaki mata uangnya kuat terhadap mata uang asing misalnya USD, maka harus direvisi. Jika ingin nilai tukar/konversi USD 1=Rp.1.000, dengan M1+M2 =Rp.1.200 Triliun maka yang harus dilakukan adalah :
 Jika memakai cadangan emas domestik >>> maka dibutuhkan USD 1,2 T (didapat dari Rp 1.200 T : Rp 1.000) devisa yang dibutuhkan adalah 48,82 Miliar gram emas domestik (USD 1,2 T : USD 24,58 harga emas 1g domestik ). Nah, uang USD 1,2 T kita lepas untuk membeli emas sebagai cadangan devisa yang tahan inflasi.
 Jika membeli emas di pasar internasional>>> maka dibutuhkan USD 1,2 T (didapat dari Rp 1.200 T : Rp 1.000), lalu uang USD 1,2 T kita lepas untuk membeli emas internasional sebanyak 48,52 Miliar gram emas internasional (USD 1,2 T : USD 24,73 harga emas 1gram internasional).
Kalau sistem moneter dalam Khilafah telah berubah menjadi berbasis emas, semuanya tercukupi dan tersedia maka khilafah tinggal mencetak dinar/dirham syar’I, kemudian terhadap masyarakat diberikan tenggat waktu untuk menukarkan mata uangnya menjadi dinar & dirham. Proses ini mirip dengan apa yang terjadi di Uni Eropa tatkala negara-negara anggotanya secara hampir bersamaan mengubah mata uangnya dengan Euro. Perbedaanya kalau Khilafah M1+M2 uang kertas yang beredar di masyarakat diback-up emas, sedangkan Euro berbentuk uang kertas yang tidak dijamin emas sehingga rawan inflasi.
C.1.2 Mengembalikan fungsi uang
Fungsi uang yang sebenarnya adalah sebagai alat tukar bukan sebagai komoditas seperti yang terjadi di pasar uang Valuta asing yang penuh dengan spekulasi dan ribawi yang tentu saja haram dilakukan.
Ketika Islam melarang praktik penimbunan harta (kanzul mal), Islam hanya mengkhususkan larangan penimbunan harta untuk emas dan perak. Larangan ini merujuk pada fungsi emas dan perak sebagai uang atau alat tukar (medium of exchange).
“Dan orang-orang yang menimbun emas dan perak, serta tidak menafkahkannya di jalan Allah (untuk jihad), maka beritahukan kepada mereka (bahwa mereka akan mendapatkan) azab yang pedih” (TQS at-Taubah [9]: 34).
Alat tukar disini bisa jadi ketika kita membeli barang atau memakai jasa maka kita mempergunakan uang dinar sebagai kompensasi dari barang itu. Atau bisa berarti pertukaran antar mata uang baik dengan sejenis ataupun dengan mata uang asing. Penjelasannya sebagai berikut :
C.1.2.1 Pertukaran mata uang
Dalam sistem ekonomi Islam, pertukaran mata uang dengan mata uang yang sejenis, atau pertukaran dengan mata uang asing termasuk ke dalam aktivitas sharf. Aktivitas sharf atau pertukaran mata uang menurut hukum Islam adalah boleh, sebab sharf adalah pertukaran harta dengan harta lainnya yang berupa emas dan perak, baik sejenis maupun yang tidak sejenis, dengan berat dan ukuran yang sama dan boleh berbeda (al-Maliki, 1963).
Dasar kebolehan pertukaran mata uang (sharf) tersebut adalah sabda Rasulullah saw.:
“Juallah emas dengan perak sesuka kalian, dengan syarat harus tunai” (HR Imam Tirmidzi dari Ubadah bin Shamit).
Ubadah bin Shamit mengatakan: ”Aku mendengar Rasulullah saw. melarang menjual emas dengan emas, perak dengan perak, bur dengan bur, sya’ir deng sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, selain sama antara barang yang satu dengan barang yang lain, maka barang siapa yang menambahkan atau meminta tambahan, maka dia telah melakukan riba” (HR Imam Muslim).
“Rasulullah saw melarang menjual emas dengan perak dengan cara diutangkan” (HR Imam Bukhari).
Dari pengertian hadis di atas, dapat dipahami bahwa dalam pertukaran mata uang ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yakni: (1) Jika pertukaran dilakukan di antara mata uang yang sejenis, maka pertukarannya harus senilai, tapi jika tidak sejenis, boleh berbeda nilai; (2) Pertukaran atau jual beli tersebut haruslah dilakukan secara tunai dan tidak boleh dengan cara diutangkan (kredit); (3) Pertukaran di antara mata uang tersebut dilakukan dalam satu majelis (tempat).
Jual beli mata uang tertentu, misalnya dolar dengan rupiah adalah aktivitas yang boleh selama dilakukan secara kontan dan dalam satu majelis. Karena itulah, pertukaran di money changer selama memenuhi ketentuan di atas adalah boleh. Namun, perdagangan mata uang asing di bursa valas secara langsung atau melalui forex advisor tidak dibolehkan, sebab tidak memenuhi dua syarat kontan dan langsung terjadi serah terima (hand to hand).
Sistem berbasis emas sebenarnya menjamin kestabilan nilai tukar. Kesatuan keuangan untuk semua negara dengan sistem emas atau kertas subtitusi yang diback-up emas. Karena itu, harga tukar antara uang suatu negara dan uang negara lain stabil karena terikat dengan emas yang sama & sudah dikenal luas. Misalnya:
 1 Dinar= 4,25 gram emas murni (Ketentuan Syariat Islam)
 1 Pound Ingrris= 2 gram emas ( sesuai dengan ketentuan undang-undangnya)
 1 Frank Perancis= 1 gram emas ( sesuai dengan ketentuan undang-undangnya)
 1USD= 0,04 gr emas Internasional (31,103 gr : USD 769,2)
Jadi apabila terjadi pertukaran, maka hakekatnya pertukaran emas dengan emas sehingga akan stabil. Maka kursnya/Nilai tukarnya sebagai berikut :
a) 1 dinar = 2,125 Pound (4,25 : 2 gram)
b) 1 dinar = 4,25 Frank (4,25 : 1 gram)
c) 1 dinar = USD 106,25 (4,25 gram x USD 1 : 0,04)
d) 1 Pound = 2 Frank (1Fr x 2gr : 1gr)
e) 1 Pound = 0,470 dinar (1dinar x 2gram : 4,25 gram)
f) 1 Frank = 0,5 Pound (1 pound x 1 gram : 2gram)
C.1.3 Menghapus transaksi ribawi dan spekulatif
Islam telah mengharamkan aktifitas riba, apapun jenisnya; melaknat/mencela para pelakunya. Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kalian orang-orang yang beriman” (TQS Al Baqarah 278). Berdasarkan hal ini, transaksi riba yang tampak dalam sistem keuangan dan perbankan konvensional (dengan adanya bunga bank), seluruhnya diharamkan secara pasti; termasuk transaksi-transaksi derivative yang biasa terjadi di pasar-pasar uang maupun pasar-pasar bursa. Penggelembungan harga saham maupun uang adalah tindakan riba.
Transaksi spekulatif, kotor, dan menjijikkan, nyata-nyata diharamkan oleh Allah SWT, sebagaimana firmanNya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minum khamr, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaithan” (TQS Al maidah 90).
C.2 Solusi dari sisi mikro ekonomi
C.2.1 Membentuk hukum-hukum syirkah
Dalam kehidupan ekonomi Islam, setiap transaksi perdagangan harus dijauhkan dari unsur-unsur spekulatif, riba, gharar/ketidakpastian, majhul/tidak saling mengenal, dharar/bahaya, mengandung tadlis/penipuan, dan yang sejenisnya. Unsur-unsur tersebut diatas, sebagian besarnya tergolong aktifitas-aktifitas non riil. Sebagian lainnya mengandung ketidakjelasan pemilikan. Sisanya mengandung kemungkina munculnya perselisihan.
Islam telah meletakkan transaksi antar dua pihak sebagai sesuatu yang menguntungkan keduanya; memperoleh manfaat yang riil dengan memberikan kompensasi yang juga bersifat riil. Transaksinya bersifat jelas, transparan, dan bermanfaat. Karena itu, dalam transaksi perdagangan dan keuangan, apapun bentuknya, aspek-aspek non riil dicela dan dicampakkan. Sedangkan sektor riil memperoleh dorongan, perlindungan, dan pujian.
Hukum syirkah yaitu jaiz/boleh sesuai dengan taqrir Rasul SAW. Syirkah menurut makna syariat adalah suatu aqad antara dua pihak atau lebih yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan. (An-Nabhani, 1990:146). Bidang bisnis riil yang bisa ditekuni misalnya :manufaktur, perdagangan barang dan jasa, telekomunikasi, transportasi, pertanian, peternakan, dan bidang bisnis riil lainnya.
Macam-macam Syirkah :
a) Syirkah inan, adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing memberikan kontribusi kerja dan modal.
b) Syirkah abdan, adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing hanya memberikan kontribusi kerja, tanpa kontribusi mal (harta).
c) Syirkah mudharabah, adalah syirkah antara dua pihak atau lebih dengan ketentuan satu puhak beri kontribusi kerja, sedangkan pihak lain beri modal.
d) Syirkah wujuh, adalah syirkah antara dua pihak (A+B) yang sama-sama memberikan kontribusi kerja, dengan pihak ketiga misal C yang memberikan modal.
e) Syirkah mufawadah, adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang menggabungkan semua jenis syirkah.
Dengan melakukan syirkah, maka kita bisa bermuamalat sesuai syariah Islam, sebagai seorang muslim yang taat kita hanya dibolehkan menjemput rizki yang halal saja diantaranya dengan syirkah dengan wujud manufaktur, pertanian, perkebunan, jasa, dan muamalah yang lainnya.
Catatan Penulis: Tulisan ini merupakan revisi tulisan yang dipublikasikan di www.syabab.com pada Oktober 2008 dengan judul “Krisis Keuangan Global, Indikator sudah Berakhirnya Kejayaan Kapitalisme dan Peluang Bangkitnya Kembali Sistem Ekonomi Islam sebagai Satu-Satunya Alternatif yang Berdalil dan Manusiawi”.
Firmansyah adalah mahasiswa tingkat akhir Universitas Pendidikan Indonesia Jurusan Pendidikan Ekonomi Prodi Manajemen Bisnis, dan Syabab Hizbut Tahrir Chapter Kampus UPI. Kontak email: ghazy2020 [at] yahoo.co.uk
REFERENSI:
1. Asas-asas ekonomi Islam, M sholahudin, SE., M.Si, Jakarta : Rajawali press tahun 2007
2. 36 soal jawab Tentang Politik-Ekonomi & Dakwah Islam, Abu Fuad, Bogor : PTI tahun 2003
3. Artikel-artikel ekonomi dari www.hizbut-tahrir.or.id
4. Iqbal, M. (2007). Mengembalikan Kemakmuran Islam Dengan Dinar & Dirham. Depok : Spiritual Learning Centre & Dinar Club
May 14th, 2009

Krisis dan perubahan di Amerika Latin

Krisis dan perubahan di Amerika Latin

oleh : BRUNO NIKY PURNAMA

Amerika latin adalah suatu kawasan yang banyak memiliki persamaan bentang alam bahkan persamaan sejarah juga mewarnai daerah ini .perkembangan globalisasi pada abad ini juga memberikan tuntutan terhadap suatu perbaikan yang dapat dirasakan oleh berbagai pihak khususnya dikawasan Amerika Latin betapapun sulitnya suatu perubahan harus terjadi walaupun di awali dengan penderitaan agar suatu keberhasilan dapat terasa manis .
Kawasan Amerika Latin memulai perkembangan yang cenderung bergolak di setiap negara-negara .pada awal Tahun 2000an banyak pemimpin-pemimpin baru muncul di Amerika Latin mereka membawa suatu pandangan yang positif terhadap arah perkembangan negara-negara mereka.baik segi politik ,ekonomi ,maupun sosial masyarakat .
Tetapi dari kesemuanya itu tampaknya ada suatu hal yang sama yang ingin di terapkan dalam pemerintahan mereka yaitu sosialisme! seperti nya mereka ingin menantang Amerika sebagai negara adikuasa, proyek Neoliberalisme yang di canangkan oleh Amerika Serikat mereka lawan dengan produk sosialisme yang fresh .Sosialisme yang lebih ketengah tidak radikal dan cenderung lebih konvensional .hal ini juga didasari oleh kemenangan partai-partai sayap kiri yang mulai mendapatkan respon positif dari rakyat .seperti kemenangan Evo Morales sebagai Presiden Bolivia dengan latar bekangnya sebagai petani koka memiliki suatu pemikiran dengan disebut (MAS) Gerakan Menuju Sosialisme, Chile kemenangan Partai Sosialis dalam koalisi kiri tengah La Concertacion
Presiden Michelle Bachelet ,Venezuela Hugo Chavez seorang pensiunan kolonel yang MiliterProgresif Brasil Luiz inazio Lula da Silva dari Partido Trabahaldores (Partai Buruh .Uruguay Tabare Vasquez dari Frente Amplio (Broad Front ) ,Ekuador Alfredo Palacio sebelumnya adalah Wapres Kolonel Lucio Gutierrez ,Nestor Kirncher dari partai peronis dengan platform kiri tengah .
Tetapi dari itu semua hanya Fidel Castro yang masih menggunakan Sosialisme yang berbeda dan sedang musim di Amerika Latin dia tetap berdiri menjadi seorang diktator yang proletar serta tetap mengunakan partai tunggal mayoritas ,no election !,dan menjadi penguasa seumur hidup
Konsensus washington adalah hal yang ingin dilawan oleh para pemimpin Amerika Latin saat ini karena Amerika Serikat mereka anggap tidak memberikan mereka suatu jawaban atas masalah yang timbul .Konsensus Washington sendiri justru tidak menjadi jawaban yang pasti terhadap semua masalah yang timbul di Amerika latin.jadi melawan Konsensus itulah yang menjadikan alasan utama pergolakan menuju arah sosislisme di sana
Berikut isi konsensus Washington
:
1. mengurangi pengeluaran publik seperti anggaran milter dan admistrasi publik seperti subsidi atau kebijakan yang bertujuan untuk membantu rakyat secara cuma-Cuma.
2. liberalisasi keuangan yang ditentukan pasar (praktis hal ini malah akan menimbulkan inflasi )
3. liberalisasi perdagangan ,disertai penhapusan izin impor dan pengurangan tarif (hal ini justru membut produk dalam negeri kalah dengan barang impor karena harga lebih murah dan dapat dipastikan kualitas barang lebih baik ,berarti mematikan perusahaan lokal 0
4. Mendorong investasi langsung asing .
5. Privatisasi BUMN .
6. Deregulasi ekonomi.
7. Nilai tukar yang kompetitif untuk pertumbuhan berbasis ekspor .
8. Menjamin disiplin fiskal dan mengendalikan defisit anggaran
9. Reformasi pajak
10. Perlindungan hak cipta smua tercermin didalam agenda WTO
Tetapi dengan sendirinya malah banyak negara Amerika Latin terjebak atas kebijakan –kebijakan yang dilakukan pemimpinnya .seperti 1)chile malah menjadi negara yang softneoliberalisme karena terjebak perangkap neoliberal ,Rezim kanan El Salvador malah menandatanganiu pe4rdagan bebas dengan Amerika Serikat yang berarti tidak menganggap FMLN , 2)Populisme peronis malah lebih kuat mewaranai Chavez . 3)sosialisme warna –warni karena banyaknyak perspektif teoritis ,ekletik,dan program yang berjangka pendek 4)Jebakan korupsi mewarnai pemerintahan 5)Kepemimpinan gerilya menghambat kepemimpinan demokratis .
Bagaimanapun Amerika Latin terus mencari jawaban atas berkembangnya suatu masalah guna mendapatkan jawaban yang mampu menjawab permasalahan regional mereka dari berbagai sisi baik Ekonomi ,Politik ,Sosial ,dan Budaya .agar nantinya terciptakan suatu sistem yang berfondasikan kepentingan rakyat serta bersama .
Tugas No 3…………………………………………………………………………..
Argentina
Argentina
merupakan negeri dimana memiliki sumber daya alam yang melimpah, hal ini terucap dari kata Argentum asal muasal nama
Argentina
yang berarti Perak atau “Negeri Perak” . Tidak dapat dipungkiri bahwa
Argentina
merupakan negara besar dikawasan Amerika Latin, selain
Brazil
,
Mexico
, chile dan lain-lainluas daerah yang membentang dari utara ke selatan
Dari segi geografis
Argentina
memiliki titik tertinggi yaitu Gunung Acon Cagua (6.960 m), dan titik terendah 40 m dibawah paras laut.
Argentina
dilewati oleh pegunungan
Andes
yang memanjang dari utara sampai selatan. Patagonia adalah salah satu dari daerah Argentina yang terdapat di bagian selatan, negara ini berasal dari kata Patagones (Kaki Besar) dalam bahasa Spanyol, terdapat pula danau Nahuel Huapi yang indah luas daerah Patagonia lebih dari 777.000 km2. Ditepian danau Nahuel Huapi terdapat tempat peristirahatan yang indah dan populer yaitu San Carlos de Boriloche.
Buenos Aires adalah ibu kota dari Argentina. Penyair abad ke-20 Ezeguiel Marinez Estrada menyebut kota ini sebagai “Kepala Goliath“ dari negeri yang besar, dan hal tersebut sesuai dengan banyaknya penduduk Argentina yang hampir sebagian besarnya bermukim di kota tersebut
Kota ini terletak di muara sungai Rio de Plata Agung yang berjarak 240 km dari kota, kota ini juga menonjolkan sejumlah kawasan besar yang penting seperti tempat Pemerintahan Federal dan bangunan Kementerian dan perkantoran dari casa Rosada (gedung Merah Jambu) dengan biro-biro pemerintahannya. Sampai gedung Cabildo atau balai kota yang pada tanggal 25 Mei 1810 menjadi tempat Raja Muda diambil sumpahnya dan dimuliakan pemerintahan daerah. Museum seni atau arkeolog, panggung teater “Teatro Colon” yang banyak dikunjungi turis.
Dari satu kawasan ke kawasan lain argentina memberikan aspek yang berlainan .daerah yang tertata kebanyakan di duduki oleh tempat kedutaan asing berbagai corak dan gaya arsitektur turut mempengaruhi berbagai bangunan bahkan penataan jalan mengikuti gaya tatanan jalan di daerah Paris Prancis .villlas miserias merupakan pemandangan yang sangat mencolok yaitu sebuah daerah kumuh yang tertindas yang ditempati oleh para kaum miskin di daerah pinggiran Buenos Aires ,Avenida Santa Ve dimana terdapat toko-toko yang elok dan indah disertai gallerias yaitu jalanberatapdengan pinggiran toko-toko ,daerah pelabuhan yang ramai yang biasa di sebut dengan La Boca (mulut) dan rumah-rumah bercat merah menjadi pembanding desa-desa Greenwich di kota New York distrik tua San telmo merupakan peninggalan kolonial yang kontras dengan daerah-daerah modern Portenos yang berbangga dengan Avenida 9 de Julio jalan raya yang sangat luas dan dapat dilintasi oleh 12 mobil berpapasan langsung dan menjadi satu-satunya jalan raya terluas di dunia .
Sebetulnya
Argentina
merupakan negara yang tidak stabil kondisi politiknya, baik ketika baru merdekan hingga pada awal abad 20 banyak rezim menguasai negara ini silih berganti militer dan sipil terus berselingan untuk menguasai negara ini. Besarnya rezim yang mampu memperbaiki krisis ekonomi bertahan lama meskipun akhirnya akan jatuh jika kembali gagal dalam melaksanakan perekonomian.
Jose San Martin seorang argentina yang berperang untuk Spanyol dalam perang melawan penguasa Prancis Napoleon Bonaparte diam-diam menyiapkan serta melatih pasukan di daerah propinsi Mendoza dia memiliki pemikiran bahwa orang –orang Spanyol haruslah di usir keluar dari wilayahnya (Argentina) dan ketika pada awal 1817 San martin dengan kurang lebih 5000 orang pasukannya berngkat untuk menyerang Spanyol dibantu oleh pasukan patriot Bangsa Chile yang di pimpin oleh Bernardo O’Higgins berhasil mengalahkan dan mengusir Spanyol di daerah Chacabuco dan Maipu dia kemudian membagi daerah sebelah utara yang sekarang Peru dengan Simon Bolivar
Pada abad 20 tepatnya 1940an Pemerintah melakukan serangkaian pemindahan kekuasaan yang dilakukan oleh Dewan Militer dan seorang Perwira yaitu Juan Dominggo Peron seorang yang berasal dari golongan perwira militer tetapi bersahabat dengan kaum buruh . Peron memegang berbagai peran dan kekuasaan Pemilu manjadikannya seorang Presiden selama 9 tahun Peron tetap berkuasa dan selama masa jabatannya ia menyesuaikan diri dikalangan kaum buruh kelebihannya adalah dapat menyatukan milter ,kaum buruh serta pendeta tetapi hal ini berdampak perekonomian negara dan opossi yang ingin menjatuhkannya.
Oleh karena kekuasaanya yang semakin meningkatia kemudian mulai tidak yoleran terhadap oposisi ,pembatasan kritik maupun ruang publik mulai di lakukan dan lama kelamaan Peron cenderung bertindak sebagai diktator puncaknya tahun 1955 peron mampu diturunkan melalui kudeta selang beberapa wqaktu ia melarikan diri ke Spanyol dan mulai saat itu pula militer memgang kendali parpol di bubarkan ,pemilu di tiadakan bahkan kongres di bubarkan banyak pula yang dilakukan militertahun 1973 pemilu mulai dilaksanakan dan pemenagnya adalah pengikut Peron ,akhirnya Peron pulang dari pengasingannya menjabat Presiden kembali tetapi itu tidak berlangsug lama pada 1974 Peron wafat dan di gantikan oleh istrinya Isabel tetapi 1976 Isabel Peron dipecat oleh militer pada saat berkuasa milter melakukan berbagai tinadakan seperti menyerang kep Falkland pada 1982 tetapi itu semua berakhir saat di kalahkan tentara Inggris dan persengketaan berakhir .
Pada awal abad 21 saat badai krisis melanda tahun 1999 di
Argentina
, mereka saling mengaitkan dengan kebijakan-kebijakan politik carlos Menem (Presiden
Argentina
saat itu) yang terlalu otoriter sama pada saat rezim militer berkuasa. Rezim Militer bukan barang baru di kawasan Amerika Latin, rezim ini sering dianggap sebagai suatu pilar yang utama mereka memainkan politik-politik penting dikalangan negara-negara Amerika Latin dan memiliki hak istimewa, tanggung jawab, dan posisi hukum.
Carlos Menem mampu mempersatukan berbagai perbedaan antara sipil (Golperorisme) dan militer dan berusaha mencapai pemerintahan transisi dari militer ke sipil. Tahun 1995 Menem mengamandemen konstitusi sehingga dia dapat bekuasa, perokonomian dibawah Menem menjadi masalah berat dan 1999 awal badai krisis Argentina menyebabkan guncangan besar ekonomi dan hal itu saat berakhrnya jabatan Menem.
Tahun 1999 Fernando Delalua naik ke kursi presiden. Dalam pembangunanya peran militer serta pembangunan ekonomi berjalan baik, tetapi ia terpaksa menjalankan kebijakan Menem karena terdesak oleh parlemen dan waktu hingga pecah kerusuhan di tahun 2001 pada tanggal 20 Desember, sehingga Delalua mengundurkan diri.
Presiden “Aldolfo Rodrigues Saa” merupakan golongan Peronis terbukti dengan ketidak tanggapannya membayar utang luar negeri, dia beranggapan bahwa pembayaran utang dapat ditunda sedang kebutuhan rakyat tidak dapat ditunda tetapi “saat” akhirnya jatuh juga setelah mengeluarkan mata uang baru Argentinos malah menimbulkan kelemasan masyarakat sehingga pecahlah kerusuhan yang mengakhiri kekuasaan Rodigues.
Ketua DPR
Argentina
akhirnya menjabat Presiden yaitu “Eduardo Duhalde” awal 2002. Ketika sangat sulit untuk menyelamatkan Argentina, maka dukungan terhadap Duhalde meningkat dan kongres sepakat untuk tidak menganti hingga masa jabatannya berkhir akan tetapi Duhalde jga mengalami berbagai masalah beruntung dia dapat mengakhiri masa jabatannya dengan baik .saat pemilu 2003 digulirkan Carlos Menem ikut kembali dalam pemilu tersebut dan lawannya Nestor Kirchner saat itu perolehan suara hanya selih kurang lebih 2% tetapi akibat diadakannya sutu pehitungansuara yang dilakukan oleh lembaga independen menhasilkan 70% suara untuk kirchner dan 30% suara untuk Menem hal itu membuat Menem mundur teratur dari persaingan Presiden dengan begitu Nestor Kircher berhasil menjadi Presiden pada pemilu 2003 hingga sat ini hal ini .dilatar belakangi oleh profile seorang Kirchner yang bebas dari korupsi dan seorang Administrator yang baik.membuat dia dapat bertahan.

Capitalism Then and Now

Capitalism Then and Now
Monthly Commentaries by Harold James

Harold James
Harold James is Professor of History and International Affairs at Princeton University, and author of The Roman Predicament.
Is globalization reversible? Do currencies rise and fall like empires? How does culture influence economic development and performance? Is “authoritarian capitalism” in China and Russia viable? Can international institutions like the IMF really shape the world economy?
George Santayana’s famous gibe that those who do not learn from the past are condemned to repeat it leaves open the question of what, exactly, is to be learned from history. Of course, the past, particularly where economics is concerned, can inform our judgments about what is happening today. But, too often, history is misremembered, or manipulated in order to cater to the interests of the moment. Indeed, Santayana might just as well have said that those who misinterpret the past are condemned to bungle the present.
Harold James, professor of history and international affairs at Princeton University and one of the premier economic historians of our time, is renowned for his scrupulous investigations of how the ideas, trends, and forces of the past have shaped – and continue to shape – the way we bank, how we trade, and what we tax. His insights illuminate the most complex aspects of historical change: how economics shapes the fates of nations, how inflation or bad policies can bring dictators to power, what previous attempts at free trade and globalization tell us about the future of today’s international economic order.
Each month, Harold James’s commentaries in Capitalism Now and Then, written exclusively for Project Syndicate, bring his commitment to historical truth and balanced judgment to the vital economic questions of our times. Will the euro, or perhaps one day China’s yuan, replace the dollar as the world’s reserve currency? Does the future belong to economic nationalism? How should policymakers and regulators ensure appropriate risk management?
Harold James brings history to bear on the present – and the future. Will your readers be listening?

Globalisasi ekonomi & kepentingan nasional

Globalisasi ekonomi & kepentingan nasional

Oleh: Hendrawan Supratikno

Belum hilang dari ingatan kita, setelah Tembok Berlin runtuh pada 1989 dan sistem ekonomi pasar dianggap superior dibandingkan dengan sistem ekonomi terpusat, muncul pandangan kuat bahwa negara yang semakin cepat mengintegrasikan dirinya dengan sistem ekonomi dunia akan menikmati kemajuan lebih cepat ketimbang yang sebaliknya.
Karena sejak 1966 ekonomi Indonesia memang mengorientasikan dirinya untuk terbuka terhadap modal asing, maka negeri ini saat itu dinilai sebagai salah satu negara yang paling diuntungkan oleh globalisasi ekonomi.
Tidak tanggung-tanggung, cukup banyak predikat "terbaik" berhasil kita raih. Indonesia dianggap sebagai salah satu negara paling sukses dalam menjalankan program keluarga berencana, swasembada pangan (baca: beras), manajemen utang luar negeri, dan sejenisnya.
Puncaknya adalah predikat 'Macan Asia' yang didengung-dengungkan oleh berbagai konsultan dan lembaga internasional. Bahkan hanya beberapa bulan sebelum krisis ekonomi 1997, sejumlah kalangan masih mengatakan bahwa fundamental ekonomi Indonesia kuat.
Ketika krisis menghempaskan Indonesia, kita terbengong-bengong menyaksikan satu-per-satu yang kita banggakan berantakan. Ternyata telah terlalu lama kita terlena dalam pujian.
Konsensus Washington
Selama rezim Orde Baru, kebijakan ekonomi yang dominan diwarnai oleh pemikiran kelompok ekonom yang oleh pemikir-pemikir ekonom nasionalis disebut sebagai 'Mafia Berkeley'.
Istilah Mafia Berkeley dikemukakan pertama kali oleh David Rockefeller, saat tim ekonomi Indonesia pada awal Orde Baru, mengadakan pertemuan di Geneva. Pertemuan itu untuk mengundang investor asing masuk menyelamatkan ekonomi Indonesia.
Rockefeller mungkin melihat para ekonom Indonesia yang dipercayai oleh Presiden Soeharto banyak yang lulus dari Universitas Berkeley, AS, universitas terkenal dengan reputasi terpuji. Dengan mengandalkan pada para ekonom terbaik itu, masa depan Indonesia, dalam bayangan Rockefeller, akan sangat cerah.
Sebagian bayangan tersebut benar. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi seakan-akan membuktikan bahwa Indonesia berada dalam 'on the right track' (di jalur pembangunan yang tepat).
Namun, tidak banyak yang menyadari bahwa pertumbuhan tinggi tersebut mengandalkan diri atas utang luar negeri (debt-led development), eksploitasi sumber daya alam habis-habisan, disertai inefisiensi, dan ketimpangan pembangunan yang parah.
Ujungnya adalah krisis ekonomi. Kemudian, kita semua tahu Indonesia jatuh dalam pelukan Dana Moneter Internasional (IMF), yang secara terang-terangan memang membawa resep solusi yang baku (one size fits all). Solusi baku tersebut dinamakan Konsensus Washington.
Isi resep tersebut cukup banyak, ada 10 butir pokok. Tetapi bila diringkas, tiga komponen utamanya adalah kebijakan fiskal ketat, liberalisasi, dan privatisasi.
Sejak saat itulah tiga istilah digunakan secara bergantian, yaitu Mafia Berkeley, Konsensus Washington, dan Neo-liberalisme. Kesamaan pokok antara ketiganya adalah kepercayaan yang luar biasa kepada keajaiban mekanisme pasar (market fundamentalism).
Paradigma keliru
Sungguh menarik, akhir-akhir ini di banyak negara muncul pemikiran baru bahwa janji-janji yang dibawa oleh para pemikir Neo-liberal ternyata tak kunjung tiba.
Kita lihat di Venezuela dan Bolivia, misalnya, pemerintah melakukan nasionalisasi terhadap sejumlah industri strategis. Di Thailand, Thaksinomics dikaji ulang, karena hasil nyata yang mudah dilihat sejumlah aset penting negara jatuh ke tangan asing.
Di lain pihak, negara-negara yang sekarang menunjukkan kemajuan mantap, seperti China dan India, disusul Vietnam, justru merupakan negara yang menyesuaikan diri secara ekstra hati-hati terhadap globalisasi ekonomi.
Bila demikian halnya, resep atau pujian yang terdengar pada dekade 1980-an, agar kita cepat-cepat menyesuaikan diri dengan tuntutan globalisasi, adalah menyesatkan (misleading).
Saking pongahnya, sampai-sampai kita membuat blunder, yaitu melakukan deregulasi keuangan (1983, 1988) yang dianggap fantastik, mendahului deregulasi sektor riil. Spiritnya juga salah, karena acuan pokoknya bukan mengedepankan kepentingan nasional.
Kesalahan pemikiran ternyata berakibat lebih fatal dibandingkan dengan kesalahan pelaksanaan. Michael Todaro, penulis buku teks ekonomi pembangunan, benar bahwa paradigma pemikiran yang salah mengakibatkan keterbelakangan akut di negara sedang berkembang.
Kini, sudah sekitar 40 tahun kita berkutat dengan paradigma pemikiran yang sama. Tidak pantaskah kalau kita bertanya, tidak adakah yang salah dari semua yang selama ini kita yakini?
Negara-negara Amerika Latin, yang telah ratusan tahun membangun, tampaknya menyadari kekeliruan yang dilakukannya. Mereka tidak sudi lagi menjadi pasien kambuhan (repeated patient) dari IMF.
Dibutuhkan keberanian luar biasa memang untuk keluar dari pemikiran lama yang menyesatkan. Ada yang mengatakan, kita telah kehilangan momentum, karena kekuatan ekonomi global sudah tidak terbendung.
Tetapi, tulisan Joseph Stiglitz (2006: xviii), menarik untuk kita renungkan, yaitu: globalization, like development, is not inevitable even though there are strong underlying political and economic forces behind it....If globalization leads to lower standards of living for many or most of the citizens of a country and if it compromises fundamental cultural values, then there will be political demands to slow or stop it.
URL Source: http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=127&_dad=portal30&_schema=PORTAL
Hendrawan Supratikno
Direktur Program Pascasarjana IBII, Jakarta
________________________________________
Keterangan Artikel
Sumber: Bisnis Indonesia
Tanggal: 04 Mar 07

MENENTANG “NEO-LIBERALISME”, KIRI DAN KANAN

MENENTANG “NEO-LIBERALISME”, KIRI DAN KANAN

Goenawan Mohammad: Zaman neo-liberalisme tampaknya sudah lewat. Kekuatan pasar tak dianggap lagi teramat sakti dan serba benar. Di Prancis, di sebuah rapat umum di kota Toulon menjelang akhir 2008, Presiden Sarkozy mengatakan: “Pikiran bahwa pasar adalah serba-kuasa dan tak dapat ditentang oleh aturan apapun dan oleh intervensi politik macam apapun adalah pikiran yang gila”.

Di Australia, Kevin Rudd, Perdana Menteri yang berasal dari Partai Buruh, menulis sebuah esei dalam The Monthly awal tahun ini: baginya, krisis yang sekarang menghantam dunia adalah titik puncak “neo-liberalisme” yang mendominasi kebijakan ekonomi dunia sejak 1978. Kini Rudd menggantikannya dengan yang berbeda. Ia menyebut agenda baru yang mendasari kebijakan ekonomi yang akan ditempuh Partai Buruh di Australia sebagai “kapitalisme sosial-demokratik”.

Rudd menjanjikan peran Negara yang aktif, walaupun tetap bertaut dengan “pasar yang terbuka”.

Dunia seperti menggaungkan kembali kerisauan tahun 1920-an. Di tahun 1926 John Maynard Keynes menulis The End of Laissez-faire dan menunjukkan betapa produktifnya sebuah kapitalisme yang dikelola, bukan yang dibiarkan berjalan seenak nafsu para kapitalis sendiri. Tak lama sejak itu, Amerika dan Eropa mencoba menggabungkan dinamisme modal dan kecerdasan teknokrasi Negara – sebuah jalan tengah yang terkenal sebagai “kompromi Keynesian”.

Adakah kini sebuah “kompromi Keynesian” baru sedang tersusun? “We are all Keynesians now”, tulis ekonom terkemuka Joseph E. Stitglitz, melihat sekarang – dari Amerika Serikat sampai dengan Indonesia – memperlihatkan peran Negara yang lebih besar dengan “paket stimulus” yang dikucurkan dari dana-dana publik buat merangsang pertumbuhan ekonomi yang merosot.

Tapi di Indonesia kita masih mendengar suara seperti Amien Rais dan Prabowo Subianto yang mengecam “neo-liberalisme”. Retorika “populis” atau “kerakyatan” memang perlu buat selalu mengingatkan masih besarnya ketimpangan sosial-ekonomi di Indonesia. Tapi “populisme” bisa datang dari sayap kanan, seperti suara gerakan Nazi Hitler.

Gerakan yang kemudian dipimpin Hitler ini berasal dari sebuah partai buruh, dengan dasar “Nationalsozialist”. Teoritikusnya yang awal, Drexler, menekankan perlunya sebuah sintesa antara semangat nasionalis kebangsaan (“völkisch”), sebuah pemerintahan pusat yang kuat, yang akan menciptakan “ekonomi sosialis”. Dan tidak boleh dilupakan: semangat anti-asing (asing berarti “anti-yang-lain”, yang “bukan-kita”).

Pengaruh semangat ini sampai ke mana-mana, juga ke Indonesia. Wilson, aktivis PRD yang juga penulis sejarah, pernah menguraikan bagaimana pengaruh Naziisme dalam Parindra (Partai Indonesia Raya).

Pengecam “neo-liberalisme” dari sayap kiri punya dasar yang lebih universal, sebab di dalamnya tidak ada unsur anti-asing. Bahkan Marxisme mengimbau internasionalisme.

Tapi masalah yang belum dipecahkan para pengritik “neo-liberalisme” adalah bagaimana mengimbangi peran pasar dengan peran Negara – seperti yang dicoba oleh “resep Keynesian”.

Jalan Keynesian bertolak dari keyakinan bahwa kekuatan yang bukan-pasar (Negara dan birokrasinya) harus – dan bisa — memiliki ketahanan untuk mengembangkan nilai yang berbeda dari nilai yang berlaku di pasar. Adapun nilai yang berlaku di pasar adalah nilai yang mendorong maksimalisasi kepentingan privat, bukan kepentingan publik. Tapi bagaimana hal itu akan terjadi di sini?

Di sini, korupsi begitu merajalela. Korupsi adalah privatisasi kekuasaan sebagai sebuah amanat publik. Agaknya itulah sebabnya tiap kebijakan yang mengandalkan intervensi Negara ke dalam perekonomian selalu disertai rasa waswas: kita tak tahu di mana Negara berada. Rasa waswas itu menyebabkan ada dorongan yang kuat – dari mana saja, juga dari pemerintah sendiri — untuk melucuti tangan-tangan birokrasi di pelbagai bidang.

Ketika seorang politikus berteriak, “awas neo-liberalisme dan pasar bebas”, sang politikus umumnya tak menunjukkan bagaimana menegakkan Negara di atas aparatnya yang tertular oleh perilaku berjual-beli di pasar bebas.

Krisis negara-bangsa seperti itulah, krisis karena tubuhnya berlobang-lobang oleh korupsi, yang sebenarnya lebih merisaukan ketimbang apapun.

Tapi tak berarti dalam kelaziman korupsi di Indonesia, negara-bangsa telah disisihkan. Justru sebaliknya: dalam keadaan ketika korupsi merajalela, ada dua dorongan yang seakan-akan bertentangan. Di satu pihak, dorongan untuk mengaburkan posisi “Negara” dalam mengelola pasar: semua keputusan bisa diatur dengan jual-beli kekuasaan. Di lain pihak, posisi “Negara” justru diperkuat, agar ada kebutuhan untuk membeli kekuasaan itu.

Tapi orang-orang masih terus berbicara tentang “neo-liberalisme”, juga di zaman ketika paham itu ditinggalkan.

Diambil dari: http://www.facebook.com/inbox/?drop&ref=mb#/note.php?note_id=77795210274&ref=n

Menggugat Konsensus Washington

Menggugat Konsensus Washington

A Tony Prasetiantono

Kejutan yang menggembirakan. Itulah kesan saya saat membaca judul headline The Jakarta Post (20/9/2006), "Stop your preaching, Mulyani tells the World Bank". Hentikan pidato nasihatmu, kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati kepada Bank Dunia. Pernyataan keras ini dilontarkan dalam pidato resmi pertemuan tahunan anggota IMF dan Bank Dunia di Singapura, 19-20 September 2006.

Konteksnya adalah dalam merespons kasus-kasus korupsi dana pembangunan dalam APBN dan menyangkut isu transparansi, Sri Mulyani meminta agar posisi Indonesia sebagai resipien dan Bank Dunia sebagai donor harus duduk sejajar sebagai mitra. Jangan seperti sekarang, Bank Dunia lebih bertindak sebagai "tukang khotbah" (preacher) dan kita sekadar mengikuti apa kemauan mereka.

Di satu sisi, sikap Sri Mulyani terasa mengejutkan karena bagi sebagian pengkritiknya selama ini ia dianggap sebagai "anak emas" IMF dan Bank Dunia karena pernah menduduki posisi salah satu direktur eksekutif IMF di Washington.

Namun di sisi lain merupakan hal yang menggembirakan. Akhirnya Sri Mulyani mengirimkan pesan bahwa dirinya bukan sekadar pengikut yang cuma bisa manut atas "khotbah IMF dan Bank Dunia saja. Sikap ini wajar dipilih karena sudah cukup banyak analisis dan bukti, IMF dan Bank Dunia bukanlah lembaga super yang bisa mengatasi berbagai permasalahan di negara-negara anggotanya. Kedua lembaga itu memang punya banyak pengalaman menangani krisis ekonomi di berbagai belahan dunia. Namun, itu sama sekali bukan jaminan bahwa mereka bakal sukses saat harus menangani kasus negara lain, termasuk Indonesia.

Kasus Indonesia membuktikan resep IMF dan Bank Dunia yang konon sukses diterapkan di Amerika Latin belum tentu cocok jika dijiplak mentah-mentah di Indonesia. Apa dan bagaimana resep generik yang dianjurkan "dokter" IMF dan Bank Dunia dianalisis dalam tulisan ini.

Konsensus Washington

Ketika negara-negara Amerika Latin— terutama tiga negara paling berpengaruh, yaitu Meksiko, Brasil, dan Argentina— bangkrut pada pertengahan 1980-an dan paruh pertama 1990-an, IMF, Bank Dunia, dan para ekonom Amerika Serikat yang bermarkas di Washington lalu meracik resep obat generik untuk mengatasinya.

Oleh ekonom John Williamson, resep generik ini diberi nama Konsensus Washington, yang praktis dihasilkan oleh para ekonom beraliran liberal dan konservatif. Semula, resep ini didesain untuk menangani Amerika Latin, tetapi kemudian terpikir, negara-negara berkembang lainnya pun bisa mengaplikasikannya (Gerber 2002:379).

Konsensus ini terdiri atas 10 elemen, yang bisa dirangkum menjadi tiga pilar, yakni (1) disiplin anggaran pemerintah (fiscal austerity atau fiscal disipline), (2) liberalisasi pasar (market liberalization), dan (3) privatisasi BUMN (Stiglitz 2002:53).

Secara singkat, isi Konsensus Washington—yang sering juga disebut sebagai pendekatan Neoliberal—adalah (Williamson 1994:26-7; Burki dan Perry 1998:7, serta Lynn 2003:63-4).

Pertama, disiplin fiskal. Pemerintah diminta menjaga agar anggarannya mengalami surplus. Kalaupun terpaksa defisit, tidak boleh melampaui dua persen terhadap produk domestik bruto (PDB).

Kedua, memberikan prioritas kepada belanja sektor publik, terutama di sektor pendidikan dan kesehatan, sebagai upaya memperbaiki distribusi pendapatan.

Ketiga, memperluas basis pemungutan pajak agar dapat dibangun struktur penerimaan anggaran yang sehat.

Keempat, liberalisasi finansial. Suku bunga harus dijaga positif secara riil (lebih tinggi daripada laju inflasi) dan hindari kebijakan suku bunga yang mengistimewakan debitor tertentu (preferential interest rates for favored borrowers).

Kelima, kurs mata uang harus diusahakan kompetitif (tidak terlalu kuat), tetapi kredibel (tidak terlalu lemah).

Keenam, mendorong liberalisasi perdagangan melalui upaya menghapus restriksi kuantitatif (hambatan perdagangan, seperti pengenaan tarif, kuota, dan larangan-larangan lainnya).

Ketujuh, menerapkan kesamaan perlakuan antara investasi asing dan investasi domestik sebagai insentif untuk menarik sebanyak mungkin investasi asing langsung.

Kedelapan, untuk mendorong kinerja badan usaha milik negara (BUMN), seyogianya dilakukan privatisasi (penjualan saham ke sektor privat).

Kesembilan, pasar harus didorong agar lebih kompetitif melalui serangkaian kebijakan deregulasi dan menghilangkan hambatan atau restriksi bagi para pelaku ekonomi baru.

Kesepuluh, harus ada perlindungan terhadap property rights, baik di sektor formal maupun sektor informal.

Keunikan tiap negara

Sepintas, semua butir konsensus itu tampak menjanjikan dan sebagian besar memenuhi kebutuhan "diet" bagi negara- negara berkembang secara umum. Namun masalahnya, tetap saja negara-negara yang terkena krisis mempunyai keunikan (uniqueness) masing-masing, yang harus diakomodasi.

Program "diet" Konsensus Washington ini dulu didesain untuk mengobati Amerika Latin, sebuah kawasan yang kental pergolakan politik sering gonta-ganti pemerintahan sehingga disebut "republik pisang" (banana republic). Konsekuensinya timbul ketidakpastian (uncertainty) amat besar. Akibatnya, terjadilah hyperinflation, yakni inflasi besar yang bahkan mencapai 50 persen per bulan atau ekuivalen 500- 600 persen per tahun.

Kondisi ini pasti berbeda dengan Indonesia, yang meski menghadapi uncertainty dan distrust (ketidakpercayaan), tetapi inflasi tertinggi saat krisis tahun 1998, "hanya" 78 persen. Kita memang pernah mengalami hyperinflation 650 persen, tetapi itu terjadi pada tahun 1965. Jadi, karakteristik krisis Amerika Latin 1980-an tentu berbeda dengan Indonesia 1998. Obatnya tentunya harus dimofidifikasi.

Kelemahan terbesar program IMF di Indonesia—sebagaimana sering didiskusikan, terutama oleh Stigltz (2002)—adalah saat mereka memaksakan penutupan 16 bank pada 1 November 1997, tanpa lebih dulu menyiapkan jaring pengaman finansial (financial safety net).

Akibatnya, terjadi kekalutan luar biasa, nasabah menarik dananya dan bank-bank kolaps. Jaring pengaman berupa skema penjaminan dana nasabah 100 persen (blanket guarantee) baru dilakukan 27 Januari 1998 ketika segala sesuatu sudah terlambat. Sektor finansial nasional telanjur ambruk dan memerlukan rekapitalisasi lebih dari Rp 600 triliun. Sebuah harga yang teramat mahal.

Kesetaraan hubungan

Nasi sudah menjadi bubur dan ongkos krisis harus dibayar melalui obligasi rekapitalisasi bank-bank yang bersemayam di APBN hingga belasan, bahkan puluhan tahun ke depan. IMF pun sudah pernah mengakui kesalahan ini.

Dengan setting semacam itu, sementara IMF dan Bank Dunia masih nyerocos memberi "khotbah", adalah wajar jika negara resipien tidak nyaman dengan situasi ini. Karena itu, wajar pula bila Menkeu Sri Mulyani, meski pernah duduk manis di Washington, harus "meradang".

Kini, marilah memulai era baru, yang mengacu pada kesetaraan hubungan antara negara resipien dan lembaga donor multilateral. Hubungan baru harus lebih mengarah ke skema kemitraan (partnership) ketimbang skema yang menempatkan salah satu pihak menjadi "tukang khotbah" (preacher) secara searah.

Karena sebenarnya, para ekonom Indonesia-lah yang paling paham terhadap kondisi nyata perekonomian negerinya, bukan pakar-pakar IMF dan Bank Dunia, yang hanya tinggal dua minggu di hotel berbintang lima diamond di Jakarta, lalu mengetik laporannya ke Washington dari tempat mewah itu.

A Tony Prasetiantono Dosen Fakultas Ekonomi UGM; Chief Economist Bank BNI

2/27/2009

Manajemen sebagai sebuah solusi perubahan

Manajemen sebagai Sebuah solusi Perubahan


Seperti mengutip ungkapan Peter F. Drucker ( The Father of Management)..

" There is no under development country, only undermanaged one...

Bahwa sesungguhnya " Tidak Ada negara yg terkebelakang, yang ada adalah negara yang tidak termanajemeni saja ".

Kemudian jika menilik pembagian negara menurut tingkatan kemakmuran, maka dikenallah Negara Maju, Negara Berkembang dan Negara Miskin.

Hal ini lah yang diprotes oleh Founding Father Manajemen Dunia Peter F. Drucker, bahwa sesungguhnya di Dunia ini Tidak ada negara yang miskin bin terkebelakang atau melarat, yang ada hanyalah negara yang tidak termanajemeni dengan baik.

to be continue...