5/21/2009

Globalisasi ekonomi & kepentingan nasional

Globalisasi ekonomi & kepentingan nasional

Oleh: Hendrawan Supratikno

Belum hilang dari ingatan kita, setelah Tembok Berlin runtuh pada 1989 dan sistem ekonomi pasar dianggap superior dibandingkan dengan sistem ekonomi terpusat, muncul pandangan kuat bahwa negara yang semakin cepat mengintegrasikan dirinya dengan sistem ekonomi dunia akan menikmati kemajuan lebih cepat ketimbang yang sebaliknya.
Karena sejak 1966 ekonomi Indonesia memang mengorientasikan dirinya untuk terbuka terhadap modal asing, maka negeri ini saat itu dinilai sebagai salah satu negara yang paling diuntungkan oleh globalisasi ekonomi.
Tidak tanggung-tanggung, cukup banyak predikat "terbaik" berhasil kita raih. Indonesia dianggap sebagai salah satu negara paling sukses dalam menjalankan program keluarga berencana, swasembada pangan (baca: beras), manajemen utang luar negeri, dan sejenisnya.
Puncaknya adalah predikat 'Macan Asia' yang didengung-dengungkan oleh berbagai konsultan dan lembaga internasional. Bahkan hanya beberapa bulan sebelum krisis ekonomi 1997, sejumlah kalangan masih mengatakan bahwa fundamental ekonomi Indonesia kuat.
Ketika krisis menghempaskan Indonesia, kita terbengong-bengong menyaksikan satu-per-satu yang kita banggakan berantakan. Ternyata telah terlalu lama kita terlena dalam pujian.
Konsensus Washington
Selama rezim Orde Baru, kebijakan ekonomi yang dominan diwarnai oleh pemikiran kelompok ekonom yang oleh pemikir-pemikir ekonom nasionalis disebut sebagai 'Mafia Berkeley'.
Istilah Mafia Berkeley dikemukakan pertama kali oleh David Rockefeller, saat tim ekonomi Indonesia pada awal Orde Baru, mengadakan pertemuan di Geneva. Pertemuan itu untuk mengundang investor asing masuk menyelamatkan ekonomi Indonesia.
Rockefeller mungkin melihat para ekonom Indonesia yang dipercayai oleh Presiden Soeharto banyak yang lulus dari Universitas Berkeley, AS, universitas terkenal dengan reputasi terpuji. Dengan mengandalkan pada para ekonom terbaik itu, masa depan Indonesia, dalam bayangan Rockefeller, akan sangat cerah.
Sebagian bayangan tersebut benar. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi seakan-akan membuktikan bahwa Indonesia berada dalam 'on the right track' (di jalur pembangunan yang tepat).
Namun, tidak banyak yang menyadari bahwa pertumbuhan tinggi tersebut mengandalkan diri atas utang luar negeri (debt-led development), eksploitasi sumber daya alam habis-habisan, disertai inefisiensi, dan ketimpangan pembangunan yang parah.
Ujungnya adalah krisis ekonomi. Kemudian, kita semua tahu Indonesia jatuh dalam pelukan Dana Moneter Internasional (IMF), yang secara terang-terangan memang membawa resep solusi yang baku (one size fits all). Solusi baku tersebut dinamakan Konsensus Washington.
Isi resep tersebut cukup banyak, ada 10 butir pokok. Tetapi bila diringkas, tiga komponen utamanya adalah kebijakan fiskal ketat, liberalisasi, dan privatisasi.
Sejak saat itulah tiga istilah digunakan secara bergantian, yaitu Mafia Berkeley, Konsensus Washington, dan Neo-liberalisme. Kesamaan pokok antara ketiganya adalah kepercayaan yang luar biasa kepada keajaiban mekanisme pasar (market fundamentalism).
Paradigma keliru
Sungguh menarik, akhir-akhir ini di banyak negara muncul pemikiran baru bahwa janji-janji yang dibawa oleh para pemikir Neo-liberal ternyata tak kunjung tiba.
Kita lihat di Venezuela dan Bolivia, misalnya, pemerintah melakukan nasionalisasi terhadap sejumlah industri strategis. Di Thailand, Thaksinomics dikaji ulang, karena hasil nyata yang mudah dilihat sejumlah aset penting negara jatuh ke tangan asing.
Di lain pihak, negara-negara yang sekarang menunjukkan kemajuan mantap, seperti China dan India, disusul Vietnam, justru merupakan negara yang menyesuaikan diri secara ekstra hati-hati terhadap globalisasi ekonomi.
Bila demikian halnya, resep atau pujian yang terdengar pada dekade 1980-an, agar kita cepat-cepat menyesuaikan diri dengan tuntutan globalisasi, adalah menyesatkan (misleading).
Saking pongahnya, sampai-sampai kita membuat blunder, yaitu melakukan deregulasi keuangan (1983, 1988) yang dianggap fantastik, mendahului deregulasi sektor riil. Spiritnya juga salah, karena acuan pokoknya bukan mengedepankan kepentingan nasional.
Kesalahan pemikiran ternyata berakibat lebih fatal dibandingkan dengan kesalahan pelaksanaan. Michael Todaro, penulis buku teks ekonomi pembangunan, benar bahwa paradigma pemikiran yang salah mengakibatkan keterbelakangan akut di negara sedang berkembang.
Kini, sudah sekitar 40 tahun kita berkutat dengan paradigma pemikiran yang sama. Tidak pantaskah kalau kita bertanya, tidak adakah yang salah dari semua yang selama ini kita yakini?
Negara-negara Amerika Latin, yang telah ratusan tahun membangun, tampaknya menyadari kekeliruan yang dilakukannya. Mereka tidak sudi lagi menjadi pasien kambuhan (repeated patient) dari IMF.
Dibutuhkan keberanian luar biasa memang untuk keluar dari pemikiran lama yang menyesatkan. Ada yang mengatakan, kita telah kehilangan momentum, karena kekuatan ekonomi global sudah tidak terbendung.
Tetapi, tulisan Joseph Stiglitz (2006: xviii), menarik untuk kita renungkan, yaitu: globalization, like development, is not inevitable even though there are strong underlying political and economic forces behind it....If globalization leads to lower standards of living for many or most of the citizens of a country and if it compromises fundamental cultural values, then there will be political demands to slow or stop it.
URL Source: http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=127&_dad=portal30&_schema=PORTAL
Hendrawan Supratikno
Direktur Program Pascasarjana IBII, Jakarta
________________________________________
Keterangan Artikel
Sumber: Bisnis Indonesia
Tanggal: 04 Mar 07

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan mengomentari tulisan ini